Tuesday, February 20, 2007

Antrian Orang Kaya

Berbekal keyakinan akan prinsip ekonomi 'Collect Early, Pay Late', saya selalu membayar tagihan-tagihan pada tanggal jatuh tempo, istilah kerennya tanggal 'due date', istilah saya sendiri tanggal 'duwe dhuit'. Setiap bayar, selalu ikut berbondong antri dengan para 'late payer' lain, selalu tanggal 20 tiap bulannya. Teman-teman saya selalu heran dan bertanya mengapa saya mau berpayah-payah antri setiap tanggal itu.

"Ngapain gak lewat atm atau kredit kart?" begitu selalu teman saya bertanya. Belum tahu dia kalau pengusaha wira-wiriswasta kelas kirik macam saya begini, tiap tanggal 20 rekening bank sudah minimal dan kartu kredit sudah limit. "Maaf rekening anda tidak mencukupi untuk melakukan transaksi" begitu tulisan di layar atm setiap mau bayar listrik, air dan telepon di akhir bulan. Dengan tagih sana-sini, korek sana-sini, cuthik sana-sini biasanya tanggal 20 jam 09.15 uang cash sudah di tangan dan jam 10.00 saya sudah antri manis di loket-loket pembayaran tadi.

"Gua seneng mengamati antrian orang", jawab saya sok sosioanalis pada teman saya. Tidak sebetulnya bohong memang, karena dari antrian saya banyak melihat karakter orang-orang.

Contohnya, setiap antri bayar, saya bisa melihat berbagai tipe orang kaya. Kenapa orang kaya? Ya ngapain juga ngamati kere? wong saya berpandangan maju dan ke atas. Mau jadi orang kaya. Menurut saya ada 3 karakter orang kaya ditilik dari cara mereka membayar tagihan.

PERTAMA, orang kaya yang siap mental. Idealismenya "BAYAR!". Suatu waktu di antrian PDAM, seperti biasa kasir memanggil sekaligus 5 nama konsumen. Dua di antara yang maju dipanggil adalah seorang ibu paruh baya dan seorang perempuan muda.

Ibu paruh baya lebih dulu.
"Tujuh Ratus sekian puluh ribu", sebut kasir. Ibu tadi sambil menerima secarik rekening, tanpa dibaca, membuka tas, ambil duit dan bayar lalu beranjak pergi.

"Tiga Ratus sekian puluh ribu", sebut kasir pada perempuan muda giliran berikutnya.

"...loh, ini bukan atas nama kantor saya pak!" sergah perempuan muda tadi pada kasir setelah membaca rekeningnya. Kemudian mereka segera tersadar bahwa ibu paruh baya tadi keliru menerima dan membayar rekening milik (kantor) perempuan muda tadi. Untung saja ibu tadi belum sampai ke luar ruangan, sehingga masih bisa dipanggil kembali.

Ketika tahu rekeningnya keliru bayar, ibu paruh baya tadi hanya tersenyum dan berkata, "pantes, biasanya gak segitu". Done. That's it. Dot. Inilah mental orang kaya yang siap kaya, kesampingkan kecerobohan atau mungkin kebodohan, pokoknya BAYAR!.

KEDUA, orang kaya yang tidak siap mental. Idealismenya "TAWAR!". Di waktu lain, di antrian PDAM pula, seorang ibu di depan kasir terkaget-kaget menerima rekeningnya.
"Hah! Sejuta seratus!? biasanya gak lebih dari sejuta!" ujarnya menolak keberadaan deviasi 10% dari suatu perhitungan tak tentu yang sebetulnya terpola.

"Padahal pemakaian sama saja kok! apa tidak salah baca meteran nih?!" tanya ibu lagi.

"...Ibu cek meteran ibu tidak?", tanya kasir.

"Nggak!"

"...Ya cek dulu bu, disamakan, baru kembali lagi bayar", saran kasir.

"Wah kalo besok sudah denda dong!" sergah sang ibu. "Berapa sih dendanya?", tanya ibu itu lagi.

"...Lima Ribu"

"wah (lagi), duit lagi. Hari ini kalau sempat kembali saya bayar tapi kalau besok bayarnya, saya tidak mau didenda!" tawar ibu tadi lagi. Dan perdebatan terus berlangsung sampai akhirnya si ibu bayar juga. Lalu beranjak dari kasir dengan dahi berkerut. Ini menurut saya - walaupun terasa cerdas dan kritis - belum siap mental untuk kaya. Ini juga model orang kaya yang merepotkan penjual jika belanja.

KETIGA, orang yang dipaksa kaya. Idealismenya "LAWAN!". Lagi-lagi di PDAM suatu waktu, seorang ibu (kok ibu-ibu semua ya?) tengah berang di hadapan loket.

"Gila! Dua juta delapan ratus?!! emangnya saya konglomerat yang punya kolam renang apa!??" sambil menggeleng-geleng (dan marah-marah). "Biasanya paling banter dua ratus lima puluh!" lanjut ibu itu lagi keras.

"...itu menurut catatan kami bu", jawab kasir.

"Catatan ngaco!!", potong ibu tadi.

"...silakan komplen ke bagian pencatatan bu", saran kasir lagi.

"Enak aja kamu! saya sudah antri lama tau! kamu aja yang cek!", dengan ekspresi siap menelan sang kasir. Terus melawan dan terus melawan dan melawan lagi sampai datang orang bagian pencatatan ke loket kasir. Ayo bu lawan! Konsumen bersatu tak bisa dikalahkan!

Terakhir, di luar tiga golongan kaya utama tadi ada golongan saya. Golongan belum kaya tapi sok kaya. Di PDAM, saya cuma bayar tagihan abondemen saja karena di rumah sudah ada sumur artesis bersama yang biayanya cuma sepertiga harga air PDAM. Abondemen PDAM cuma Rp.8.400,- makanya saya bayar dua bulan sekali. Walaupun ditambah denda Rp.5.000,- tapi tetap lebih murah daripada bayar tiap bulan yang harus ada pengeluaran parkir, bensin dan korban waktu antri.

Terkadang kasirnya suka iseng bertanya ketika saya membayar. "Rumah kosong ya pak?"

"...iya, makanya suka lupa bayar", bohong saya. "Soalnya punya beberapa rumah yang kosong, jadi suka lupa mana yang belum bayar" makin bohong saya lagi.

"Dicabut saja pak daripada bayar abondemen terus" saran kasir.

"...wah jangan dong, rumah-rumah itu kan untuk bisnis jual-beli, nanti kalau ada yang mau beli jadi susah jual kalo gak ada air", jawab saya makin menggila bohongnya.

Thursday, February 15, 2007

Yang Ke-dua

Lagi-lagi dengan menyalahkan kualitas serta kuantitas waktu hidup yang buruk akibat wira-wiriswasta, saya tidak pernah punya kesempatan menyimak isi siaran televisi dengan baik. Kalaupun ada waktunya, lebih sering mata hanya memandang tanpa menyerap apalagi mengingat isi dari siaran tadi. Biasanya sepulang wira-wiri di maghrib hari, setelah bermain lalu menidurkan anak-anak dan menunggu kantuk.

Salah satunya adalah klip lagu yang kadang diputar di beberapa televisi swasta. Setelah beberapa kali-kebetulan tertonton, ada sebuah lagu yang baru malam ini saja saya simak pesan dan kesan yang disampaikan lewat liriknya. Ternyata menarik, ceritanya seorang perempuan yang rela dijadikan 'yang ke-dua', yang penting bahagia katanya.

Rasanya emansipasi sudah mencapai momen-momen yang menyenangkan. Setelah hanya berusaha 'menyamai', kini perempuan sudah mulai bereksplorasi untuk mengeksploitasi lawan jenisnya (atau sudah mulai bereksploitasi untuk mengeksplorasi lawan jenisnya? entah... balik-balik saja sendiri, pokoknya begitulah maksudnya)

Mengingatkan saya lagi pada sebuah artikel yang pernah saya baca di sebuah majalah online, yang memberitakan di timur-tengah sana, sedang tren para janda yang rela dijadikan 'yang ke-dua', bahkan 'pen-dua'nya mendapat dispensasi untuk tidak menafkahi secara materi. Alasannya, terlalu banyak janda (kaya) yang sulit menjadi 'yang pertama' kembali, sementara sebagai manusia yang amat sangat biasa, mereka pun memiliki 'kebutuhan', tidak melulu yang 'body', tapi juga 'budi'. Tentunya hal ini disambut hangat para prianya, kalau istilah gaul yang sarkastik di Bandung; 'duit weuteuh, nanggung euweuh, xxxxxx baseuh'. Mimpi beranak banget kan?

Sebetulnya menjadi 'yang ke-dua' adalah hal praktis buat perempuan. Andaikan seorang perempuan yang sangat sibuk, mengutamakan karir, atau malah beralir pikiran feminis chauvinis akan sangat merepotkan memiliki pasangan yang penuntut, yang menginginkan perempuan berfungsi sebagai kodrat(kuno)nya. Sementara mungkin dalam dirinya, perempuan masih memiliki keinginan baik 'body' maupun 'budi' terhadap lawan jenis.

Menjadi 'yang ke-dua' sangat memudahkan, biarkan sang pria memperoleh tuntutannya akan kodrat(kuno) pelayanan perempuan dari 'yang pertama', sementara 'yang ke-dua' cukup menikmati tanpa perlu melayani serta merawatnya. Tidak perlu cemas menunggunya pulang ke rumah setiap malam. Tidak perlu cemas apakah ia menyukai masakan hari ini - bahkan tidak perlu memasak sama sekali. Tidak perlu repot menyiapkan baju, sepatu serta dasinya. Paling utama, tidak perlu mendengarkan dengkurannya setiap malam, karena pria hanya senang 2 hal setelah 'selesai' yaitu; tidur mendengkur atau pulang. Dan buat pria 'pen-dua' tidak ada yang lebih memudahkan serta melegakan selain pulang.

Ide modernisasi menunggu kantuk ini makin berkembang ke arah yang lebih 'ngawur' dan rasanya makin kurang pantas disampaikan, tapi pada intinya saya mencintai modernisasi. Bahkan tidak segan 'mengalami' modernisasi ini. Saya selalu terbuka untuk di-eksplorasi dan di-eksploitasi.

Terlebih kesempatannya adalah jadi 'pen-tiga' juga 'pen-empat'. Happy Valentine!

Sunday, February 04, 2007

Setengah Gelas Itu

"...saya orang yang menganggap setengah gelas penuh..." kata sang artis di acara infotainment di TV (lagi). Personifikasi setengah gelas penuh dan kosong mengingatkan saya ke sebuah fragmen dialog bertahun lalu antar kawan di sebuah rumah makan kecil di Bandung.

Ketika kami memesan makanan dan minuman, seorang kawan - sebut saja 'A', setelah memesan makanan, memesan minumannya, "Teh botol, pakai gelas besar dan es, 2 botol masukin semua biar gelasnya penuh...".

Seorang kawan lain - sebut saja 'B', berkomentar,"...wah pesimisan abis lu, gelas harus penuh terus..."

A menjawab, "...biar gak usah pesan lagi kalau mau tambah, dan murah teh botol sih, 10 juga gua bayar!"

Saat itu makan-makan berakhir dengan A masih menambah lagi teh botolnya.

Hari ini, A bekerja di perusahaan multinasional dengan posisi lumayan, sudah mencicil sendiri rumah di perumahan yang cukup baik di Jakarta, mobilpun keluaran terbaru walaupun masih kelas entry level.

B tidak pernah berjumpa lagi, tidak pernah mendengar kabarnya dan belum melunasi hutangnya pada saya.

Rasanya psikoanalisa berdasar setengah gelas perlu penambahan golongan. Selain mereka yang memandang setengah gelas penuh dan mereka yang memandang setengah gelas kosong, seharusnya ditambahkan pula dengan mereka yang merasa perlu berkomentar tentang bagaimana setengah gelas milik orang lain.

Saya sendiri memandang setengah gelas kosong. Dan selalu berusaha membuatnya penuh.