Saturday, August 18, 2007

Merdeka, waralaba dan Nasionalisme

Merdeka itu relatif. Artinya berbeda untuk pemilik warung kecil yang meruntuki berdirinya waralaba mini_toserba asing berjarak selang dua rumah saja dan ia menjual sekotak sari buah kemas seharga Rp.3.500,-. Berbeda bagi penjaga kasir di waralaba mini_toserba asing itu. Kesempatan kerja yang nyaman dalam ruang ber-AC, lengkap dengan tanda pengenal plastik berfoto dan mini_toserba itu menjual sekotak sari buah kemas seharga Rp.3.100,-.

Lantas mengapa selisih Rp.400,- tadi justru tidak me'merdeka'kan saya dan 'menjajah' pemikiran hingga saat saya menekan tombol-tombol huruf ini.

Arti merdeka hanya berkisar pada 'kebagian' atau 'tidak'. Tanyakan saja selisihnya pada pedagang pasar 'Banana Republic' di Kordon-Buah Batu yang tercekam pembangunan sebuah waralaba grosir selang satu perempatan jalan. Tanyakan juga pada para investor waralaba grosir yang tengah berhitung prakiraan untung untuk lima-delapan tahun ke depan.

Bayangkan seorang pemuda sepuluh tahun silam, kuliah di jurusan yang tidak diminati, harus terganggu tidur siangnya hanya untuk kembali ke kampus. Siang yang panas di pertigaan jalan Siliwangi dan jalan Tamansari, mobilnya berpapasan dengan sebuah mobil lain yang kebetulan ditumpangi seorang pria asing dan seorang wanita lokal yang cantik. Kode lampu diberikan sang pemuda meminta jalan, melintas lalu melambaikan tangan pertanda terima kasih. Pria asing tadi tidak melambai kembali namun berserapah, seolah tidak terima laju mobilnya tertahan.

Gelegak hati pemuda tadi. Entah karena serapah atau karena dengki atas wanita cantiknya. Tak tertahan kemudi diputar mengejar balik. Mobil saling berpepetan dan serapah diteriakkan, "stupid white ass! what the hell you said to me before?!" tak lupa jari tengah mengacung. "You black bastard!" jawaban dari seberang sana. Sayangnya si pemuda lupa bahasa inggris dari 'botak' yang memang diderita si pria asing tadi, padahal "stupid bald head!" terdengar lebih menohok. Wanita lokal cantik tampak ketakutan dan menggenggam erat si pria asing pertanda hubungan batin atau entah juga kelamin yang cukup erat.

Insiden berakhir di pertigaan jalan Dago dan Ganesha, pemuda berbelok menuju kampus tetap dengan rasa kesal, bukan karena insiden bilateral tapi karena tidur siang yang terganggu jadwal kuliah. Inikah gelegak nasionalisme yang dirasakan pemuda di masa lalu akibat orang asing yang bertindak seenaknya? Kalau ya, 350 tahun untuk kemudian merdeka rasanya terlalu lama.

Mudah-mudahan agustusan berikutnya tetap menjadi bagian yang kebagian.