Sunday, March 09, 2008

Bangun atau Bangkit ?

Menonton TV dan membaca koran awal tahun ini mulai ramai oleh '100 tahun kebangkitan nasional'. Kebanyakan media, apalagi koran 'merayakannya' dengan betul-betul dilandasi semangat demokrasi dengan cara marah-marah, protes, menghujat perilaku generasi muda masa kini, meruntuki moral masyarakat, inventarisasi kebobrokan bangsa dan lain-lain yang serupa. Tidak ada solusi.

Niat saya awalnya serupa. Ingin marah-marah, menghujat generasi masa lalu (tak ada masa kini tanpa masa lalu tho?), inventarisasi sampah-sampah bangsa, minta tanggung jawab birokrat dan lain-lain yang sebentuk. Juga tanpa solusi.

Merenung sejenak (sebetulnya lama juga karena sedang tidak ada proyek), teringat quote seorang budayawan yang mengatakan bahwa 'bangkit' tidak sama dengan 'bangun'. Bangun adalah dari tidak sadar menjadi sadar, sementara bangkit dari tidak berdaya menjadi berdaya dalam keadaan sama sadar. Penggunaan kata 'bangun' dari tidur memang lebih tepat daripada 'bangkit' dari tidur. Lebih memudahkan pembedaannya, penggunaan 'bangkit' juga lebih tepat untuk menggambarkan penis anda yang ereksi daripada 'bangun'. Bangun juga menggambarkan kondisi dari tidak ada menjadi ada, sementara bangkit lebih menunjukkan potensi yang sudah ada menjadi lebih ada.

OK, biarpun salah tapi apa salahnya berteriak, mencoba memberi usulan solusi. Daripada teriak-teriak mengorek borok yang pada akhirnya hanya melukai dan menginfeksi diri sendiri. Walaupun mungkin hanya air ludah tetapi ada anti bakterinya kan?

Paling utama tak lain dan tak bukan adalah pendidikan. Pendidi'an Endonesa walaupun kuantitas contentnya mungkin melebihi bangsa lain - misal anak SD Indonesia sudah mampu mengenali lokasi-lokasi geografis pada peta seperti lokasi negara, laut, samudera dll - kualitasnya buruk, idealismenya tidak ada. Mengapa? karena semua yang dituju hanyalah 'nilai' atas nama benchmarking hasil pengajaran. Mengejar 'Nilai' inilah yang terus menggerus arti pendidikan menjadi cuma pendidi'an tanpa kualitas. Habis sudah pendidikan nilai-nilai integritas, nilai-nilai berdikari bangga atas keringat sendiri. Bocornya ujian dan contek-mencontek adalah akibat sistem 'Nilai' tadi.

Solusinya menurut saya adalah sistem 'benchmarking' pendidikan yang tidak hanya mengacu pada hasil akhir, tetapi proses. Hapus sistem kelulusan yang menggunakan standar nilai kelulusan. Biarkan semua peserta didik lulus setelah menempuh pendidikannya secara penuh. Ujian hanya untuk masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.

Bagaimana menguji serapan pengajaran terutama pada pendidikan dasar? lakukan dengan uji aplikasi, misal matematika dengan simulasi perdagangan atau terapan hitungan lain di dunia nyata, bahasa dengan mengarang atau apresiasi panggung, ilmu alam dengan praktikum, ilmu sosial dengan diskusi-diskusi yang konstruktif. Bagaimana dengan ilmu lain yang tak bisa diamati penyerapannya selain dengan uji nilai kuantitatif? tak perlu diamati, berikan saja tanpa perlu diuji. Di dalamnya termasuk pendidikan moral, agama, sejarah atau malah etika. Buat apa diuji-nilaikan apabila malah lebih menyulitkan peserta didik lalu mengubur integritas.

Saya cenderung mengacu sistem pendidikan tradisional seperti pesantren dan paguron jaman dulu yang membiarkan para peserta didik berkembang sesuai potensinya lalu membiarkan dunia nyata yang mem-benchmark mereka. Apabila dikaitkan dengan sistem 'link & match' dunia pendidikan dan kerja, biarkan pengguna hasil pendidikan menyeleksi kebutuhannya sendiri.

Sistem benchmark dengan nilai ini pula yang mengubur harga diri. Daripada 'Tut Wuri Handayani' lebih baik semboyan pendidi'an itu diganti dengan 'you are what you score' - 'kamu adalah nilaimu'. Bayangkan dari sebuah kelas di sekolah yang mungkin ada 50 peserta didik, sementara yang bisa masuk 10 besar hanya 20%, sementara yang 80% otomatis dianggap 'kurang potensial'.

Celakanya orang tua banyak mempercayai pola ini untuk menilai kualitas anak-anaknya.

Anak ibu cacingan? tentu tidak!!