Monday, October 24, 2011

Lampu... Lampu...! *grépé-grépé-grépé

Kecuali sudah berniat mampir ke satu titik di antara titik berangkat dan tujuan, sepanjang perjalanan dengan kendaraan bermotor hanya melalui koridor-koridor mati. Tanpa interaksi. Mungkin kita baca rambu-rambu dan papan-papan iklan maupun nama toko sepanjang jalan. Ribuan orang mungkin ditemui sepanjang jalan. Lagi-lagi hanya latar gambar dari jendela atau seruang kecil pandangan bukaan helm. Kecuali dengan pengasong atau pengamen atau pengemis, masih ada interaktifitas (?) -lambaian tangan tanda menolak atau meraih lalu memberikan sekeping uang logam-.

Tanpa sadar, "ketemu di jalan" jadi sesuatu yang istimewa. Berpapasan atau bersisian kendaraan dengan kenalan dan kerabat adalah kebetulan yang istimewa. Jadi jeda aktifitas di antara kepasifan interaksi dengan ruang luar sepanjang perjalanan.

Awal tahun 2000'an, jauh sebelum Undang-undang mengenai kewajiban menyalakan lampu utama bagi sepeda motor diberlakukan, saya selalu mengendarai sepeda motor dengan lampu utama menyala. Bukan alasan keselamatan, tapi ada kerusakan yang menyebabkan klakson dan lampu sein (sign) tidak menyala apabila switch lampu utama tidak dalam posisi hidup.

Semenjak kondisi itu berlangsung, perjalanan saya menggunakan sepeda motor menjadi sangat interaktif. Sepanjang jalan rute-rute yang biasa saya lalui selalu mendapat 'sapaan' dari orang-orang. Bentuknya berupa kode tangan "grépé", telapak tangan yang diacungkan lalu dikatupkan saling menyentuh semua ujung jari, -bukan mengepal-, berulang-ulang. Seringnya diiringi teriakan, "lampu..!". Itu tanda mereka mengingatkan bahwa lampu utama hidup karena kala itu seharusnya lampu kendaraan mati di siang hari. Menurut mereka barangkali, pengemudinya lupa mematikan, yang dapat mengakibatkan aki tekor. Sungguh sosial, peduli dan baik hati.

Mulanya saya selalu balas dengan teriakan, "rusak!" sambil menunjuk ke arah lampu, kelamaan saya cukup mengacungkan jempol tangan kiri saja. Tanda terima kasih atas peringatan yang disampaikan.

Menariknya kemudian, karena saya melalui rute yang itu-itu saja, ternyata mereka yang sering memberi tanda dari pinggir jalan jadi hafal pada saya. Mungkin juga tampilan berkendara saya yang khas. Makhluk besar 183cm/120kg mengendarai Honda Win kecil dengan lampu selalu menyala, -beruang sirkus bermotor kabur-. Warung yang saya hampiri beli tisu, tambal ban ketika kempes, penjual tepi jalan ketika mengisi pulsa, pengasong di persimpangan sewaktu terhenti lampu merah, semua akrab menyapa. Pertanyaan selalu mirip, "Mengapa lampunya hidup terus?". Saya jadi sosok akrab. Jalan menjadi lintasan yang akrab.

Belakangan, setelah Undang-undang mewajibkan lampu sepeda motor hidup di siang hari, jalanan kembali menjadi latar mati. Tak ada lagi sapaan "grépé" yang akrab mengingatkan. Tapi semoga memang banyak nyawa terselamatkan oleh undang-undang tersebut.

*foto dicuplik dari Media Indonesia

Monday, October 17, 2011

Kupat Tahu

Baru saja selesai sarapan 'kupat tahu' yang dibungkuskan istri sembari pulang mengantar anak-anak sekolah. Kupat tahunya gagrak Tasikmalaya; potongan ketupat dan tahu digoreng 'medium rare' lalu ditaburi tauge (bukan kecambah) yang dari 'nyakrek'nya pasti hanya dimatangkan dengan sekedar dicelupkan ke air panas, lalu disiram bumbu kacang halus encer dengan sedikit kecap. Rasanya condong manis.

Sambil sarapan tadi, jadi ingat pertama kali mampir di lapak penjual kupat tahu tersebut hampir 2 tahun lalu.

Waktu itu langganan kupat tahu sarapan kami berlokasi kira-kira dua perempatan sebelum lapak kupat tahu yang sekarang kami langgani. Di seberang pasar tradisional terdekat dari rumah. Biasanya dibeli oleh pembantu rumah tangga yang sekalian belanja pagi. Kemudian ketika anak sulung kami masuk SD, rute pulang-pergi mengantar-jemputnya melalui lapak kupat tahu yang kemudian kami langgani tadi. Beberapa kali terlihat lapak itu selalu penuh antrian. Penasaran, akhirnya sempat juga kami mampir.

Lapaknya sederhana, ruang kecil dengan dua set meja-bangku kira-kira 3x4 meter saja. Gerobak yang sudah statis menjadi area saji, ada di paling depan. Waktu itu mungkin karena bentuk gerobak dan tampilan 'signage' yang mirip, membuat istri saya membuka percakapan dalam bahasa Sunda dengan penjualnya, yang pasti adalah juga juragan pemilik lapak;

Istri saya (i) : Mang, ini sama nggak dengan yang di **** (langganan kami sebelumnya) ?
Penjual (p) : Sama neng kupat tahunya.
(i) : oh berarti yang di sana punya mang juga?
(p) : bukan neng.
(i) : lho katanya sama?
(p) : iya sama kupat tahunya, tapi bukan punya mang.
(i) : saudara?
(p) : bukan, orang lain aja itu mah.
(i) : beda dong mang.
(p) : ah tapi sama juga enaknya yang sana mah neng.

Di jaman kapitalisasi dan persaingan bebas macam sekarang, tanggapan penjual kupat tahu tersebut terhadap persaingan luar biasa. Betul-betul kontra marketing. Death of marketing tanpa perlu kirim peti mati tapi bikin happy.

Walaupun kemudian setelah dicicipi rasanya tidak lebih istimewa dari langganan kami sebelumnya, kami pindah dan masih berlangganan sampai pagi ini.

Labels: