Wednesday, December 26, 2012

Resep 300 Tahun

Gerbang Kota Sakamoto
Satu setengah jam perjalanan dengan tiga kali berganti kereta dari Kyoto, akhirnya kami sampai di kota Sakamoto. Kota Sakamoto adalah satu dari rangkaian kota-kota sepanjang pantai barat Danau Biwa di Prefektur Shiga, Jepang. Kota Sakamoto terletak di kaki timur Gunung Hiei, gunung yang juga berada di sisi timur laut Kyoto. Di Gunung Hiei terdapat komplek kuil besar di bagian puncaknya, Hieizan Enryakuji. Dengan posisi seperti ini, Sakamoto menjadi 'pintu belakang' yang 'melambung' dari sisi timur menuju komplek kuil sementara jalur utama yang berbentuk jalan raya, datang dari sisi selatan Gunung Hiei.

Saya memutuskan berkunjung ke Sakamoto karena ingin menikmati jalur perjalanan yang lebih panjang ke Gunung Hiei. Perjalanan dari Kyoto ke Sakamoto akan sekaligus menyusuri tepian Danau Biwa, danau terbesar di Jepang. Alasan lain yang sebetulnya lebih penting bagi saya adalah adanya sebuah kedai 'soba' tua di Sakamoto. Kedai ini sudah ada hampir selama tiga abad! Selama hampir tiga abad itu, kedai ini mengklaim tetap mempertahankan cara produksi serta penyajian dari hidangan 'soba'. Apa itu 'soba'? Soba adalah jenis mi yang diproduksi dari tepung 'buckwheat'. Jenis mi lain yang umum dikenal di Jepang adalah mi terigu biasa yang digunakan untuk ramen, mirip dengan mi dari cina secara umum. Lalu ada 'Udon', mi terigu dengan ukuran penampang lebih besar dibandingkan dengan ramen.

Saya mengetahui keberadaan kedai ini dari sebuah acara di kanal televisi satelit Singapura beberapa bulan sebelum keberangkatan ke Jepang. Dengan lokasi yang memungkinkan untuk membentuk sebuah rute perjalanan dalam satu hari yang mencakup berbagai lokasi menarik, saya merencanakan untuk datang berkunjung dengan keyakinan akan mendapat pengalaman menikmati masakan Jepang popular yang orisinal. Dan akhirnya hari itu, sampailah saya beserta keluarga di sana, di "Honke Tsuruki Soba", Sakamoto.

Muka Kedai
Kedainya menempati sebuah bangunan tua dua lantai dengan ruang saji cukup luas. Interiornya sederhana didominasi warna kayu gelap dengan meja kursi bergaya modern tapi sederhana. Kami mengambil tempat di pojok dengan sudut pandang ke seluruh bagian interior. Pelayan yang sejak awal kami datang telah menyambut, tampaknya menyadari ke'turis'an kami dan menyodorkan menu berbahasa Inggris. Istri dan anak-anak saya pilihkan nasi tempura dan semacam nasi yang dimasak berbumbu disertai potongan daging ayam. Saya sendiri memilih 'basic soba set' dengan pendamping tempura dan soba dengan topping jamur yang tampak dimasak seperti semur.

Soba Tempura Set
Musim panas saat itu membuat saya ingin mencicipi soba yang disajikan dingin. Ini akan menjadi pengalaman kuliner baru karena hampir tidak ada masakan 'main course' di Indonesia yang disajikan dingin. Soba set yang kemudian datang, disajikan di atas nampan bambu yang diberi es disertai semangkuk saus soba. Tempura pendamping diletakkan pada piring terpisah yang juga disertai saus tempura pada sebuah mangkuk. Untuk awal, saya cicipi soba tanpa dicelupkan ke saus. Teksturnya 'masir', tidak sesolid mi tepung tapi tidak menjadi lebih mudah putus dengan kekenyalan yang mirip dengan mi terigu. Rasanya yang membedakan soba dengan mi terigu yang biasa kita kenal. Soba memiliki rasa 'nutty' yang cukup kuat untuk bisa dinikmati tanpa saus. Tentu lebih enak apabila dicelupkan dulu pada sausnya yang terbuat dari kecap asin encer (thin soy sauce) dengan samar rasa asam. Sausnya bisa diperkaya dengan rasa dari parutan lobak (daikon) dan wasabi. Puncaknya tentu apabila dipadukan dengan gigitan tempura. Tempura pendampingnya terdiri dari udang, konbu, buncis dan cabai hijau yang lebih besar sedikit dari cabai rawit. Perbedaan utama dari tempura yang pernah saya nikmati di tanah air adalah adonan pembungkus/'batter' yang sangat ringan dengan rasa inti/isi yang masih segar. 'Batter'nya matang sempurna, tidak ada jejak pahit kelewat masak serta renyah. Isian udangnya masih terasa segar (juicy). Demikian pula pada isian konbu, buncis dan cabainya, semua rasa asli masih terasa, tidak rusak oleh panas kelewat masak. Mudahnya menggambarkan, saya contohkan pada kol/kubis mengenai rasa segar dan rasa masak. Ketika kita makan kol mentah, akan ada rasa khas manis segar yang apabila sudah dimasak, baik rebus ataupun goreng, akan ada rasa 'matang' yang cenderung pahit. Nah, keistimewaan tempura ini adalah pada rasa segar (freshness) mentah yang masih kuat. Ada kesan 'batter'nya mampu menghalangi panas mematangkan isian. Dibanding mencelupkannya terlebih dulu pada saus tempura yang kuat rasa jahenya, saya lebih menikmati tempura ini begitu saja tanpa saus.

Soba Topping Jamur
Soba dengan jamur datang dalam sebuah mangkuk dan disajikan dingin. 'Topping' jamur dimasak mirip semur dengan kuah yang sedikit menggenang di dasar mangkuk. Kembali ditambah parutan daikon, wasabi, potongan bawang daun dan konbu. Wasabi saya tepikan karena bagi saya terlalu kuat dominasinya apabila tercampur. Pada menu ini, kembali saya bertemu dengan 'kejujuran' masakan Jepang. Saya mulai mengerti bagaimana hidangan Jepang ingin disajikan. Jamur ternyata hanya dimasak dengan bumbu yang sangat ringan dengan kecap asin yang encer saja. Tampaknya ingin menampilkan rasa asli dari jamur yang khas, seperti aroma 'tengik' pakaian yang terlalu lama disimpan di lemari lembab. Saya sebut saja rasa 'lembab'. Rasa lembab itu kuat sekali, diantar sedikit asin dari kuah kecap asin yang encer. Tekstur jamurnya kenyal, hampir sekenyal 'sari kelapa' dengan permukaan yang licin berlendir. Pengalaman rasa yang cukup aneh namun kaya. Suapan soba yang 'nutty' ditemani potongan jamurnya di mulut akan lebih dulu didominasi oleh rasa soba dan gurih konbu, baru kemudian karena kekenyalannya, rasa jamur yang tampil hingga waktunya menelan. Betul-betul pengalaman kuliner yang memperkaya lahir batin. Kini saya mulai sedikit paham kenikmatan 'kejujuran' pada masakan Jepang. Semua bahan penyusun tampil dengan rasa, tekstur dan pengalamannya masing-masing. Kombinasinya saling memperkaya bukan dengan cara mempengaruhi atau malah mengeliminir antara satu rasa oleh rasa lainnya dan bumbu hanyalah menjadi pengantar. Lagi-lagi contoh mudah adalah dengan menganalogikannya melalui warna. Andai satu bahan kita anggap 'merah' lalu ada bahan lain yang kita anggap 'putih', pada masakan Jepang, masing-masing bahan akan tetap menampilkan 'merah' dan 'putih'nya. Bedakan dengan masakan Indonesia, Cina atau bahkan India yang 'berusaha' meng'infus' rasa bumbu kepada bahan, sehingga ketika 'merah' dan 'putih' bertemu pada masakan mereka, hasilnya adalah sebuah kesatuan 'merah muda'.

Dengan datang dan menyantap hidangan dari sebuah kedai yang mampu bertahan hingga tiga abad dengan mempertahankan keaslian resepnya, saya menganggap ini adalah pengalaman yang cukup sahih dijadikan referensi. Ah ya, tentang harga, masing-masing menu berharga antara 800Y hingga 1200Y. Total bayar untuk 4 macam hidangan adalah sekitar 4300Y termasuk pajak. Porsi cukup besar, dua porsi menu lainnya yang disantap bertiga oleh istri dan anak-anak masih bersisa. Minuman teh 'ocha' hangat ataupun dingin gratis serta bebas mengalir. Sekali lagi, ini sungguh-sungguh pengalaman kuliner yang berharga.

Labels: ,