Monday, December 28, 2015

Supper at Emmaus


Akhirnya kami tiba di bagian ujung ruangan gelap yang ternyata berupa bentangan tirai berwarna hitam. Satu orang berseragam berjaga di depan bagian bukaan tirai yang lalu dengan sigap disibakkannya untuk jalan kami masuk ke ruangan di baliknya. Ruangan di balik tirai yang kami masuki itu, nyaris gelap tanpa pencahayaan. Satu-satunya sumber cahaya datang dari bagian atas ruangan menyorot ke arah dinding di hadapan arah kami masuk. Dan pada dinding yang disinari itulah tujuan kami datang hari itu berada dalam sebuah kotak kaca setinggi pandangan orang dewasa, "Supper at Emmaus", lukisan karya Michelangelo de Caravaggio.

 ***

Melakukan perjalanan dengan tiket penerbangan murah yang hanya dapat dipesan dari jauh hari, memberikan keuntungan perencanaan perjalanan yang dapat disusun dengan lebih banyak riset dan informasi. Biasanya setelah mendapatkan tiket, langkah berikutnya adalah mencari informasi tentang even-even apa yang akan berlangsung selama masa kunjungan di tujuan tersebut. Demikian pula ketika kami memperoleh tiket murah untuk penerbangan ke Hongkong - Macau pada pertengahan 2014 yang diperoleh lebih kurang 8 bulan sebelumnya.

Satu even menarik yang ternyata berlangsung bersamaan dengan waktu kunjungan kami di Hongkong adalah pameran lukisan 'masterpiece' karya Michelangelo de Caravaggio yang berjudul "Supper at Emmaus". Keterangan awal yang saya dapat tentang karya ini ternyata cukup menarik. Pelukisnya dianggap tokoh seni penting jaman barok. Pengaruh gaya lukis yang mengeksplorasi cahaya dan bayangan serta ekspresi manusia model lukisnya, mempengaruhi gaya seni lukis hingga jaman berikutnya.

Dari keterangan evennya sendiri, ini adalah pertama kali lukisan tersebut 'keluar' dipamerkan dari Eropa. Bahkan butuh waktu lama untuk dapat didatangkan dan dipamerkan di Hongkong. Ini akan menjadi pengalaman menarik untuk kami, terutama anak-anak, dapat melihat langsung sebuah karya seni klasik kelas dunia. Selain riset yang dilakukan sendiri dari internet, beruntung saya memiliki seorang kawan, Rudolfo Eduardo Hartanto, seorang seniman lukis yang sudah cukup diakui dalam dunia seni rupa nasional, untuk saya hubungi. Tujuan utama saya sebetulnya hanya untuk mencari informasi tentang bagaimana harus mengapresiasi lukisan "Supper at Emmaus" itu nanti, tapi ternyata saya mendapat lebih banyak lagi informasi mengenai lukisan ini dan terutama tentang pelukisnya dari kawan saya tersebut.

Untuk bisa menghadiri pameran tersebut, kita harus mendaftarkan diri terlebih dulu melalui internet. Mengisi data, jumlah peserta dan kapan akan datang menyaksikan. Tanda masuk hanya bisa diambil tepat satu hari sebelumnya di tempat yang ditentukan. Memang persyaratan hadir terasa agak 'ribet', belum lagi syarat-syarat 'dresscode', barang bawaan, jam hadir agar dapat pendamping berbahasa inggris dsb. Membawa anak-anak pun ada syaratnya antara lain tidak diperbolehkan membawa keranjang dorong atau gendongan.

Singkat kata, setelah kami tiba di Hongkong, kami sempatkan sehari sebelum jadwal kami datang ke pameran untuk mengambil tiket pameran. Dari lokasi pengambilan tiket tersebut, sudah terasa 'aura' keseriusan dan pentingnya pameran ini. Lokasi pengambilan adalah "The Lee Gardens One", sebuah mall eksklusif di kawasan Causeway Bay, Hongkong. Jangan bayangkan mall ramai meriah besar seperti di Jakarta atau Singapura, tampaknya "The Lee Gardens One" adalah tempat belanja yang diberi atmosfir privat untuk pelanggan kelas tinggi. Bahkan beberapa 'tenant', tidak memajang produk untuk terlihat dari luar. Hanya dinding kaca buram dengan merk tertera. Mungkin pelanggan mereka bukan kelas yang melakukan 'window shoping' untuk kemudian mengambil keputusan instan berbelanja. Beberapa 'tenant' yang terlihat demikian adalah "Louis Vutton", "Hermes" dan "Bvlgari". Untuk 'tenant' yang lebih populer, kelihatannya sengaja ditempatkan di gedung lain yang bersebelahan yang memang tampak lebih ramai, "The Lee Gardens Two".

Tiket diambil di meja lobi yang dilayani oleh petugas wanita berseragam rapi. Data kami sudah tersedia di komputer mereka ketika saya diminta menyebutkan nama lengkap. Tiket diberikan dalam sebuah map kecil berkantung yang berisi booklet, beberapa flyer, peta menuju lokasi dan tiketnya sendiri. Kesemuanya dicetak rapi dengan menggunakan finishing cetak yang eksklusif. Tak berlama-lama, kami bergegas pergi setelah menerima tiket-tiket tersebut. Kuatir tak dapat menahan nafsu belanja.* (* = bohong)

Hampir terlupa, tiket untuk datang menyaksikan pameran lukisan ini dapat diperoleh secara GRATIS.

Keesokan harinya, datang ke pameran lukisan ini adalah jadwal pertama kami hari itu. Pukul 8 pagi kami sudah meninggalkan penginapan di kawasan Wan Chai menuju lokasi pameran. Lokasi pameran di gedung "Asia Society Hongkong Center" dekat Hongkong Park. Menariknya dari informasi booklet tiket, gedung ini berlokasi pada bekas gudang senjata tentara Inggris di masa perang dunia, bahkan diceritakan bahwa tempat ini menjadi bagian titik terakhir perlawanan tentara Inggris ketika Jepang menginvasi Hongkong. Untuk mencapai lokasi pameran ini tidak sulit. Kami cukup naik 'ding-ding' trem khas Hongkong dan turun di muka 'Pacifik Place Mall'. Masuk ke mall tersebut untuk kemudian naik eskalator di samping gedung mall ke arah belakang untuk keluar. Pintu belakang mall ini langsung berhadapan dengan Hongkong Park. Berbelok ke arah timur sekitar 200an meter akhirnya kami sampai di lokasi pameran. Ada yang menarik pada perjalanan menuju lokasi pameran, kami berjalan melalui muka gedung konsulat jenderal Inggris. Hampir tidak tampak pengamanan yang berarti kecuali patok-patok besi setinggi pinggang di trotoar muka pintu putar untuk masuk ke dalam gedung. Berbeda sama sekali dengan kedutaan-kedutaan negara barat di Jakarta yang lebih mirip markas militer.

Gedung "Asia Society Hongkong Center" sendiri tampak baru dan modern. Gaya arsitekturnya minimalis dan menyesuaikan terhadap kontur. Eksterior didominasi warna gelap dari batu alam mengkilat. Mungkin batu granit. Tiba di lobi gedung, tampaknya panitia pameran hari itu belum lama bersiap. Beberapa kelengkapan belum tersedia, seperti badge pengunjung dan kartu penitipan barang sehingga kami harus menunggu. Setelah tersedia, kami menukarkan tiket. Tas yang kami bawa harus dititipkan dan kami melalui perangkat 'body check scanner', seorang petugas menanyakan apakah kami membawa kamera dan setelah kami iyakan, ia mem'briefing' kami tentang bagaimana penggunaan kamera di lokasi pameran nanti. Kami boleh memotret selama di luar ruang atraksi utama lukisan "Supper at Emmaus" dipamerkan, sementara di dalamnya, kamera sudah dilarang. Demikian juga karena kami bersama anak-anak, ia mengingatkan agar anak-anak diperhatikan dan agar dapat dijaga ketenangan mereka. Lalu kami dipersilakan melanjutkan keluar ruangan lobi ke arah yang ditentukan.

Se-keluar dari lobi, kami sampai di semacam taman yang berkontur curam. Arah jalan kami adalah sebuah jalur melayang di atas lahan curam. Terbuka dan memanjang. Di ujungnya terdapat lift yang hanya memiliki pilihan naik atau turun. Karena kami ada di level bawah, pilihannya cuma naik. Oya, di muka lift tersebut sudah ada petugas keamanan berjaga. Keluar lift, pilihannya hanya dua; ke arah taman terbuka atau kembali sebuah jalur melayang tertutup ke arah sebuah bangunan. Sesuai petunjuk, kami berjalan ke arah bangunan tersebut. Bangunan yang kami tuju tersebut terlihat sebagai sebuah bangunan bergaya lama. Menariknya, di lantai terdapat alur-alur rel dari besi yang kemudian kami ketahui merupakan rel bagi lori-lori pengangkut amunisi saat lokasi ini berfungsi sebagai gudang senjata. Bukan gedung tersebut yang kemudian menjadi lokasi pameran, kami diarahkan mengikuti petunjuk, -searah dengan rel lori tadi-, ke sebuah lobi kecil. Kembali banyak petugas yang berjaga di sana. Lagi-lagi kami di'briefing' ulang mengenai penggunaan kamera, mengawasi anak-anak, dan ditambah bagaimana cara mengantri pada eksibit utama. Ditanya pula apakah kami membutuhkan 'guide', tentu saya jawab tidak karena saya sudah berbekal segala informasi mengenai lukisan ini sebelumnya.

Lobi kecil tadi rupanya merupakan pintu masuk dari sebuah ruangan masif nyaris tanpa bukaan. Tampaknya inilah ruangan yang berfungsi sebagai 'bunker' gudang senjata saat awalnya. Dibangun dengan melubangi tebing yang lalu diperkuat dengan struktur beton yang terlihat tebal dan kuat. Bangunan dibuat memanjang mengikuti sisi tebing dengan sekat-sekat dinding yang membagi panjangnya menjadi ruang-ruang yang lebih kecil lalu dihubungkan dengan bukaan-bukaan yang dilalui rel lori tadi. Saat pameran ini, setiap ruang diisi karya seni yang tampaknya diatur untuk 'mengantar' pada atraksi utama. Setiap ruang diisi oleh karya-karya seniman lokal Hongkong sendiri. Tidak hanya lukisan, tapi juga foto, patung-patung kecil dan seni instalasi. Menariknya lagi, seting setiap berpindah ruangan diatur sedemikian rupa dengan pencahayaan yang semakin dalam semakin gelap dan dari pintu lubang bukaan sesuai jalur rel lori tadi, kami bisa mengintip ke ujung bukaan terakhir yang betul-betul gelap dan hitam. Misterius.

***

Lukisan "Supper at Emmaus" sendiri tidak berukuran terlalu besar. Menurut wikipedia, ukurannya 141 x 175 cm. Saat itu dipamerkan kira-kira 20 cm di balik kotak kaca, sementara pembatas antara kotak kaca dan tempat berdiri pengunjung hanya sekitar setengah meter saja. Bila saya membungkuk, saya akan bisa menyentuhkan hidung saya pada kaca, yang artinya lukisan tersebut bisa diamati dengan cukup dekat.

Lukisan ini menceritakan Nabi Isa AS atau Yesus, nabi umat kristiani yang diyakini oleh umat kristiani bangkit kembali setelah wafat disalibkan dan dimakamkan dalam sebuah gua. Setelah kebangkitan tersebut, Yesus diyakini datang mengunjungi beberapa pengikutnya pada waktu makan malam dan adegan makan malam ini yang dilukis oleh Michelangelo de Caravaggio.

Berbekal petunjuk apresiasi dari kawan saya, saya mulai mencermati kekuatan utama sang seniman yaitu kemampuannya mengolah cahaya serta bayangan. Lukisan dibuat dengan cahaya yang datang linier dari sisi kiri pengamat, detail bayangan sangat tepat dan akurat hingga ke sela-sela jari. Intensitas cahaya dengan kontras yang memberikan kedalaman ruang yang dramatis. Ingat, jaman lukisan ini dibuat masih jauh dari era teknologi fotografi, sehingga keahlian mengilustrasikan cahaya dan bayangan sedemikian akurat adalah suatu keahlian yang istimewa. Bisa dipastikan keahlian ini memerlukan studi dan pengalaman pengamatan dalam waktu yang tidak sebentar dan Michelangelo de Caravaggio pada gilirannya digelari "Master of Light and Shadow".

Keahlian lain dari sang maestro adalah detail dan pewarnaan permukaan yang dapat memberikan kesan nyata beserta dimensi dan massa. Pewarnaan kulit manusia terasa benar menyampaikan cerita, mulai dari kulit tua para pengikut Yesus yang keriput dan kering keras khas milik petani yang terjemur matahari setiap hari, hingga kulit pucat kebiruan namun halus pada Yesus yang begitu tepat menggambarkan seseorang yang baru saja bangkit dari kematian. Kain busana yang digunakan masing-masing tokoh pada lukisan-pun dapat kita rasakan kehalusan dan 'berat'nya masing-masing.

Keahlian pewarnaan sang pelukis makin terasa istimewa ketika disadari bahwa tekstur kain kanvas media lukis masih bisa diamati jelas di bawah aneka warna. Artinya, pencampuran aneka warna yang saling tumpuk dan campur tadi, dioleskan sedemikian tipis. Nyaris seperti semprotan printer berbasis tinta yang kita kenal. Tidak ada sisa torehan tinta lukis yang menebal atau meng'kanal'. Sepengamatan saya, semua tampak dipulas merata. Mungkin ini pula yang teramati oleh anak kami, yang kala itu berumur 8 tahun, sehingga mengomentari bahwa saya-pun bisa membuat lukisan seperti itu dengan menggunakan perangkat printer digital besar.

Ya, anak-anak saat itu tidak terlalu mengapresiasi langsung terhadap lukisan tersebut. Yang mengherankan mereka justru adalah mengapa lukisan tersebut mendapatkan perlakuan begitu istimewa. Begitu 'ribet' dan banyak prosesi untuk bisa dapat menyaksikannya. Bahkan begitu banyak penjaga dan panitia yang diperlukan untuk pelaksanaan pameran lukisan tersebut. Belum lagi seting ruang dan suasana hingga gedung bagus yang dipergunakan untuk pameran. Informasi yang sudah saya siapkan andaikata anak-anak bertanya segala sesuatu tentang lukisan tersebut, ternyata tidak diperlukan. Tujuan saya membukakan cakrawala bagi anak-anak bahwa ada dunia yang menghargai seni di luar sana andaikata mereka kelak berminat hidup bergelut dengan kesenian, sudah tercapai. Mereka melihat sendiri bahwa ada sebuah karya yang sedemikian dihargai dan diapresiasi hingga nyaris abadi melewati beberapa generasi.

Semoga berbeda dengan era generasi saya kecil, "apa?! mau jadi seniman?! mau makan apa kamu?!", bila ada anak yang bercita-cita menjadi seniman atau pelukis.

Keluar dari ruangan puncak pameran tersebut, kami melalui sebuah jalan samping kembali ke lobi muka 'bunker' ke arah lift turun. Sebelum turun, kami terlebih dulu berjalan mengelilingi taman yang rupanya merupakan atap dari bangunan baru di bagian muka ketika kami awal datang tadi. Taman yang cukup bagus dan tertata rapi dihiasi juga oleh beberapa karya seni patung. Yang istimewa adalah patung kepala Buddha besar yang miring ke samping. Pemandangan ke arah kota dan pelabuhan Hongkong tampaknya dijadikan latar utama taman tersebut, demikian juga pencakar-pencakar langit yang ada di sekitarnya. Bisa dipastikan, suasana malam di taman itu pasti akan spektakuler. Akhirnya, tidak sampai dua jam kami ada di lokasi pameran dan belum lagi siang ketika kami kembali berangkat menuju lokasi lain yang sudah direncanakan hari itu.

foto dicuplik dari Wikipedia.