Sunday, December 03, 2006

Pernikahan Putra Presiden

(TV lagi, TV lagi!) Nonton liputan pernikahan putra presiden RI, SBY, Agung something dengan Anissa Pohan, cukup menggelitik. Bukan masalah biayanya yang pasti besar di tengah-tengah marak busung lapar dan langkanya BBM, atau penggunaan aset negara untuk acara pribadi.

Teringat bahwa dik Anisa ini dulu cukup sering mampir di warung makan yang saya kelola, karena kebetulan bersebelahan dengan kampus kuliahnya. Seingat saya, biasanya ia datang beramai-ramai, minimal berempat, ada lelaki ada perempuan. Kadang saya suka iseng mengamati, karena pegawai warung biasanya berbisik pada saya kalau dia datang "Mas, tuh yang iklan sanslik!", jadi saya suka intip dari dapur ke ruang makan sambil mencari-cari kesamaannya dengan wajah perempuan yang muncul di iklan shampoo tersebut. Ada dua hal yang menarik, pertama, dik Anisa ini kelihatannya agak judes, karena saya sempat melihat ia 'setengah marah' pada pegawai saya yang keliru bawa pesanan.

Kedua, biasanya para lelaki yang ikut dalam rombongannya selalu mencuri pandang atau malah memandang sekalian dengan pandangan kagum-menerawang, mungkin sambil berdendang dalam hati "aku bisa membuatmu..hu..hu... jatuh cinta kepadaku mesti kau tak cinta..." atau "aku cinta padamuuu... sungguh... tak mungkin kuulangi dari mulutku sendiri..."

Gelitikan pikiran saya ketika nonton liputan pernikahan itu adalah; apa pikiran para pria-pria tadi ketika nonton liputan ini? well.. as crunch by big butt i guess. Bagaimana tidak, suaminya ganteng, gagah sebagaimana tergambar dalam lagu kopral Jono, perwira lulusan AMN, terbaik di angkatannya pula, and last but the best part is the son of the big boss himself. Oh tanah, please... please... telan aku!!

Bertahun lalu, saudara sepupu saya yang sekolah di Yogyakarta pernah berkisah. Sebagaimana remaja pria di akhir usia belasan, ia bersama teman-teman, biasanya berdua atau maksimal berempat, di akhir minggu akan melakukan kunjungan 'musibah', bertandang ke rumah gadis-gadis cantik. Tidak perlu kenal, kalau perlu cuma dengar dari teman lain bahwa ada gadis cantik beralamat di Jl xxx., maka mereka akan datang berkenalan berjudi cinta. Biasanya lancar-lancar selama mereka datang rapi dan sopan. Menurut sepupu saya tersebut, hambatan terbesar adalah apabila 'apes' berkonjungsi dengan 'tuyul gundul', sebutan bagi taruna AMN. Para taruna AMN mendapat jatah vakansi di akhir pekan, dengan waktunya yang singkat biasanya mereka akan keluyuran dari Magelang ke Yogyakarta atau Solo. Karena mereka pria normal dengan usia akhir belasan tahun juga, mereka pun gemar melakukan kunjungan 'musibah'. Nah kalau para militeris ini bertemu dengan sipilis seperti sepupu saya tadi di rumah para gadis, walaupun status si gadis cantik masih 'bebas-aktif', para sipilis biasanya langsung kecut hati, inferior dan segera mohon pamit. Belum lagi kalau orang tua si gadis yang tadinya tidak muncul, kemudian muncul menyambut sang calon perwira dengan sukacita. Tak lupa dengan ucapan "jangan lupa dibuatkan minum lho!" kepada putrinya, tentunya buat si 'gundul' minumannya.

(maaf dalam bahasa jawa agar tidak mengurangi kedalaman cerita) "Dhudhu wedhi mas, poko'e keder!, lha wong wis gundul, awake gagah nganggo seragam kincling-kincling kae. Dhurung maneh nek sing teko angkatan tuwone, nggowo tongkat komando kae, wah poko'e wis pengen langsung minggat nek gathukan karo tuyul gundul kae!" demikian cerita sepupu saya tadi sambil terpingkal-pingkal, apalagi kalau kita di ruang tamu rumah sang gadis, konon ketukan pintu militeris yang mantap bertenaga diiringi ucapan "Selamat malam!" yang berwibawa, pasti mengagetkan dan merontokkan hati para pemuda sipilis.

Saya jadi berpikir, cerita tentunya akan lain kalau pemuda sipilis yang datang berasal tata surya akademis yang lebih kuat imagenya. Saya pikir cuma mahasiswa kedokteran PTN atau mahasiswa ITB bagian barat laut yang cukup punya mental menyaingi atau melebihi para 'tuyul gundul'. Memang belum pernah dengar ceritanya, tapi saya jadi ingin tahu juga.

Lho... lho... lho... bagaimana dengan jurusan saya di ITB dulu? Wah tipis kemungkinannya! Jangankan 'tuyul gundul', dengan jurusan yang sama dari perguruan tinggi lain yang sekota saja, swasta pula, masih belum jelas keunggulan 'aura'nya. Sejak awal kuliah sampai lulus, saya mendengar dan melihat, hampir seluruh civitas jurusan tempat saya kuliah, selalu saja meributkan keunggulan atas 'psywar'nya melawan jurusan serupa di PTS tersebut. Tidak hanya berkoar, bahkan sampai mencuri dengar lewat menyelusup masuk 'subscribe' ke dalam milis-milis rival, lalu segera menge'print' dan menempelkannya di pengumuman publik jurusan apabila ada mail 'curian' yang membahas kelebihan kami terhadap mereka. Demi Allah pencipta alam, tidak seperseribudetikpun saya pernah ambil peduli terhadap rivalitas konyol bahkan cenderung tolol ini, tapi pernah juga saya berpikir "kalo memang better kok ngeributin terus?!" malah semua mahasiswa baru selalu dicekoki "Jurusan kita lebih baik daripada jurusan di xxxxx!" SWGL!

Tahun 1998, selulus saya dari jurusan tadi, kondisi Indonesia sedang jelek-jeleknya, jangankan lulusan baru, lulusan belasan tahun sebelumnya dari jurusan saya kuliah tadi banyak yang kena PHK. So saya mencoba usaha di bidang desain grafis dan cetak. Khususnya undangan pernikahan. Semua saya kerjakan sendiri mulai cari order, desain, presentasi, belanja, buat film, menunggu proses cetak, finishing, mengantarkan ke pemesan dan tentunya ambil uangnya.

Untuk produksi sebuah undangan yang unik dan didesain khusus, terkadang dibutuhkan sebuah alat khusus. Alat kerja ini betul-betul 'handmade', mungkin memang dengan bantuan mesin juga membuatnya tapi kemampuan tangan di atas segalanya. Ada satu tempat yang sangat terkenal membuat alat ini di Bandung atau malah terkenal se-Indonesia barangkali, karena saya kadang bertemu orang Surabaya, Bali bahkan Pontianak di tempat ini. Orang Jakarta, Cirebon, atau Tasik-Garut sudah biasa bertemu disitu.

Tempat itu dikelola dan dimiliki oleh seorang bapak berusia kira-kira 60-an, setiap datang memesan atau mengambil pesanan alat, biasanya kami mengobrol sebentar. Sampai suatu hari saya datang ke tempat itu, di ruang tamunya ada seorang pemuda ikut melayani. Seperti biasanya saya ngobrol dengan bapak pemilik tempat ini. Obrolan lalu sampai pada hal pemuda tadi yang ternyata anaknya. Pemuda tersebut ternyata lulusan jurusan kuliah yang sama dengan saya dan berasal dari perguruan tinggi swasta yang dianggap rival berat bagi jurusan saya di ITB. Satu angkatan pula, dan dia belum lama putus kontrak dari tempatnya bekerja sesuai ilmunya. Akhirnya saya ngobrol dengan pemuda tadi yang kemudian tahu bahwa saya lulusan jurusan yang sama dari ITB. Ia dan bapaknya keheranan melihat saya yang naik motor kesana kemari 'ngurusin' cetak undangan, "kok insinyur nggak kerja sesuai ilmunya?" tanya mereka, saya jawab selain tidak suka ilmunya, praktisi bidang ini saat itu (1999an) sedang jadi sampah, dimana-mana di-PHK dan lulusan baru banyak yang menganggur. Si pemuda tadi lalu bertanya heran "Lulusan ITB juga banyak yang nganggur?", "Lho saya pikir kalo lulusan ITB sih selamat-selamat aja, kan mereka lebih pinter-pinter daripada lulusan (PTS) tempat saya?".

Hahaha... saya dicerahkan seketika, rivalitas konyol dan cenderung tolol ini ternyata makin berkembang ke arah yang tidak jelas. Seharusnya semua tahu bahwa ternyata bukan masalah sekolahnya, tapi masalah profesinya.

Sampai kira-kira tiga bulan lalu (April 2005), pemuda tadi masih tetap bekerja membantu ayahnya dan saya masih tetap terkadang mencetak undangan walau tidak sebanyak dulu, kalau tidak merepotkan baru saya kerjakan karena ada pekerjaan lain yang harus diurus. Sekedar gambaran, keluarga pemuda tadi selama enam tahunan saya mengenal mereka, sudah dua kali meliburkan tempat kerjanya, selalu di akhir tahun sekitar dua sampai tiga minggu. Yang pertama saya tidak tahu jelas kemana mereka sekeluarga pergi, yang kedua kira-kira dua tahun lalu mereka sekeluarga (ayah-ibu dan 3 anak yang saya tahu) pergi ke Australia as tourist! by they pocket! Damn! I wish i have my own family bussiness.

Rivalitas konyol berbuah manis, setiap saya memesan alat kerja tadi di tempat yang saya ceritakan di atas, selalu didahulukan, bagaimanapun padatnya pesanan. Tidak pernah lebih dari dua hari. sementara orang lain baru selesai dalam waktu lima atau enam hari bila pesanan sedang padat. Hanya saja ada satu ganjalan setelah mereka (terutama si bapak pemilik tempat tadi) tahu bahwa saya lulusan ITB, setiap saya datang, sang bapak selalu menyambut "Halo bapak insinyur Abi! apa kabar?"

$#!t!! saya sungguh benci panggilan itu.

Selamat menempuh hidup baru buat dik Agung dan dik Anissa.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home