Sunday, December 03, 2006

Berhenti Merokok Dalam 5 Hari

(Lagi-lagi di TV) Dibahas bahwa untuk berhenti merokok diperlukan berbagai macam hal yang rasanya rumit. Ada ulama yang bicara tentang hukum-hukum agamanya, dilengkapi dokter yang bercerita segala keburukan merokok dan bagaimana sebaiknya berhenti merokok, tak kurang lengkap seorang psikolog juga ikut duduk bercerita bagaimana membulatkan tekad untuk berhenti merokok dan tentunya tidak kembali merokok.

Menurut ulama, merokok hukumnya 'makruh', dilakukan tidak apa, tidak dilakukan berpahala, tapi bila kemudian merokok, terutama uang pembeliannya, lebih diutamakan daripada hal lain yang bermanfaat, menjadi 'haram', dilakukan berdosa, tidak dilakukan berpahala. Dokter bercerita lain lagi, efek buruk merokok semua jelas, tapi ternyata secara kedokteran ada cara untuk berhenti merokok yang 'sehat', katanya rokok tidak boleh berhenti mendadak, tapi berangsur karena katanya lagi tubuh manusia tidak dirancang untuk perubahan-perubahan ekstrim, semua perubahan ekstrim baik hal negatif maupun positif akibatnya akan buruk. Orang yang mendadak berhenti merokok, kata dokter tadi, akan mengalami berbagai hal negatif seperti jantung yang terus berdebar, lemas, sulit tidur, pusing-mual, kadang disertai bagian-bagian tubuh yang bergetar (tremor?). Psikolog cerita lain lagi, secara mental katanya, orang yang dalam proses berhenti merokok akan mengalami stress, mudah marah, tidak bisa konsentrasi dan mengfokuskan pikiran. Belum lagi betapa mudahnya orang yang berhenti merokok tanpa tekad kuat akan mudah kembali merokok.

Menurut saya?? Thats a whole crap!!! kecuali bagian yang diucapkan ulamanya.

Saya merokok dan kemudian berhenti tidak ada kaitan sama hukum agama, kesehatan apalagi psikis. So this is my story.

Saya belajar merokok dari sekitar kelas 1 SMP. Rutin merokok kira-kira kelas 2 SMA. Habis 1 bungkus 1 hari kira-kira mulai kuliah. 2 tahunan lalu saya mulai berhenti merokok, tidak seperti menurut pak dokter dan bu psikolog di atas, dulu rasanya hari ini saya masih beli rokok, besok berhenti beli (dan minta ke teman juga) dan stop merokok. Alasan waktu itu, istri saya hamil. Siapa yang mau punya anak terbelakang karena selama hamil ibunya menghisap rokok secara pasif? tidak ada kan?! Setelah anak lahir, dan alhamdulillah, semua puji cuma buat Allah, anak saya lahir sehat. Rokok, here we meet again.

Setelah lahir anak pertama, saya kembali merokok, kembali 1 bungkus 1 hari, tapi selalu memilih ruangan yang jauh dari bayi atau di luar rumah tapi ini hanya berlangsung 1 bulanan. Karena suatu hal, dimulailah proses berhenti merokok yang dilakukan dalam 5 hari, yang terus bertahan hingga hari ini, tanpa cacat.

Hari 1 : Anak saya pertama umur 1 bulan, jadi mulai lepas 'bedong'an atau selimut bayi yang dibungkuskan ke bayi jadi dia tidak bisa bergerak, katanya untuk meluruskan kaki. So popok kain mulai dipinggirkan karena kurang praktis. Banyak cucian, dan repot kalau tengah malam bayinya bangun karena BAB atau pipis. Kami (saya dan istri) mulai cek popok instan (pempers, iya saya tau ini merk tapi ini lagi-lagi puncak keberhasilan pemasaran, seperti teh kotak atau eternit). Kami coba yang bagus tapi murah dulu, bagus dalam artian sudah berbahan kertas, bukan plastik yang membuat mudah lecet. Sial, merk pertama membuat lecet.

Hari 2 : Coba lagi merk kedua, lagi-lagi ruam merah muncul di selangkangan anak saya.

Hari 3 : Akhirnya ambil merk di jajaran yang termahal, baru anak saya tidak lagi ada ruam popok. Guess what?! harganya walaupun sudah dalam pak besar Rp. 1.700,- perbuah. Bila beruntung dalam 1 hari hanya pakai 3 buah, tapi kalau lagi 'ramai' minimal 4-5 buah bisa terpakai. Rata-rata sehari 4 lah dalam hitungan 1 bulan. Mulai saya melamun, 1700x4= Rp.6.800,-. Saat itu pemasukan lagi sepi, dagang lagi kurang ramai, belum lama usaha roti keliling gulung tikar karena sulit cari SDM, istri baru mau mulai usaha jadi lagi butuh modal dan terlebih lagi walaupun tinggal di eks rumah orangtua, kami tidak pernah minta bantuan materiil ke orangtua untuk biaya hidup (tapi kalau sesekali dikasih ya nggak nolak dong!, tapi sesekali!!).
Semua biaya rumah tangga mulai dari Telpon-listrik-air-RT-Pembantu-Suster pokoknya 'whole billing matter' kami biayai sendiri. Jadi 6800x30=Rp.204.000,- lumayan terasa. Ketika lagi hitung-hitung penghematan, sambil merokok, saya lirik bungkus rokok dan lihat bandrolnya, Rp. 6.500,- hmm... maaf teman 'enjoy aja', kamu harus pergi.

Hari 4 : Rokok yang dibeli kemarin sudah habis. Tidak beli lagi. Tidak merokok.

Hari 5 : Tidak beli rokok. Tidak merokok.

Sampai hari ini.

Pak dokter, bu psikolog dan pak ulama, rokok cuma dihisap orang bodoh atau orang yang punya banyak uang atau kombinasi keduanya. Apalagi kalau yang tidak punya banyak uang tapi merokok, that the foolest people ever.

Terlebih dengan kelahiran anak kedua saya, tidak mungkin rasanya kembali merokok dalam waktu dekat, kecuali saya kembali jadi orang yang punya kelebihan banyak uang, karena saya yakin saya bukan orang bodoh.

Quit smoking? Piece of cake lah....!!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home