Tuesday, February 10, 2009

Menuju Penyelesaian yang Elegan


Turut berduka dengan wafatnya seorang anak santun harapan keluarga, yang dibesarkan dengan susah payah serta diberkati cita-cita dan doa ayah-ibunya namun kemudian disia-siakan sebuah penyimpangan ide kaderisasi organisasi.

Menggugah duka pula bahwa ia tinggal begitu dekat dengan kediaman saya, tidak sampai 200 meter. Bukan tidak mungkin bahwa sosoknya tidak asing bagi saya. Ya kami pasti tidak saling mengenal, tapi sekali lagi, bukan tidak mungkin kami tidak asing.

Proses pertanggungjawaban berjalan. Bila sebelumnya kematian anak didik seperti ini hanya berakhir sebagai statistik belaka, tampaknya ini lain. Mungkin lembaga pendidikan tinggi ini tidak ingin disetarakan sebuah institusi pendidikan se-kota yang hanya menghasilkan juru tulis kecamatan dalam menyikapi kematian sia-sia peserta didiknya.

Awalnya, proses penyelesaian serasa basa-basi seperti kematian-kematian sia-sia anak harapan orang tua lain yang pernah terjadi. Mulai dari simpang siurnya berita, hiruk-pikuknya aparat, lalu berbelitnya data medis sampai komentar mendiknas.Tapi berita lanjutannya cukup membesarkan hati, bahkan sampai pada kutipan : "Menurutnya dalam waktu dekat, Rektor ITB Djoko Santoso akan bertemu dengan dosen Geodesi dan Geomatika untuk membahas apakah masih perlu program studi tersebut dipertahankan."

Akan banyak argumen mengenai sebegitu krusialkah penyelesaian yang sampai mengeliminasi sebuah entiti yang mungkin lebih besar, lebih luas, lebih tua, atau bahkan (dianggap) jauh lebih penting? Entahlah, apa ada yang lebih penting dibandingkan nyawa seorang anak? Puluhan juta jiwa anak-anak (muda) lain yang melayang oleh perang sia-sia di awal abad lalu, pun dikarenakan melayangnya satu jiwa seorang anak (raja).

Lantas, akankah ada suara-suara lantang dari mereka yang arogan merasa lebih pintar, lebih berharga, lebih bermanfaat serta lebih tahu untuk membubarkan Teknik Geodesi ITB atau malah integrasinya ITB sekalian -seperti halnya begitu lantang seruan pembubaran sekolah tinggi juru tulis kecamatan tersebut-?
Rasanya tidak akan ada. Karena tidak adanya siapapun mampu merasa lebih pintar, lebih berharga, lebih bermanfaat serta lebih tahu yang terbaik daripada selain tiga kapital besar berurut tadi. Bahkan, situs berita tempat saya ambil kutipan di atas, memandulkan kolom komentar yang biasanya segera terisi. Hati-hati.

Pula jangan lupa, apapun penyelesaiannya; baik secara proporsional, dibesar-besarkan, dikecil-kecilkan, atau malah dilupakan dan dipeti-eskan, tidak akan menyejukkan perih orang tua yang ditinggalkan. Penyelesaian tersebut kelak, hanya menjadi contoh kasus, seberapa besarkah adab (pendidikan) kita memuliakan sebuah nyawa manusia, serta seberapa cerdaskah kaum (terdidik) kita mampu menarik hikmah. Mudah-mudahan generasi nanti mau memaafkan yang terjadi hari ini.

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Sayang memeng di intsitusi pendidikan yang menjadi kebanggaan bangsa masih tertjadi tragedi kekerasan atas nama senioritas seperti itu yah!

12:44 PM  
Blogger ardilada said...

jadi inget ada yg sampai error pas OS UBG dulu...:)
untung ga kenapa kenapa ye bi..kalo engga kayanya susah dievakuasinya deh...:p

10:44 PM  
Blogger abi_ha_ha said...

Wakakak...
yoi, push-up? cetek, scotchjump? cetek, situp? cetek, ditabok? cetek,
Roll depan? pusing, Roll belakang? MAMPUS! hahaha... gak ada persiapan untuk roll sih.

12:55 AM  

Post a Comment

<< Home