Friday, April 26, 2013

Stressed Japanese

Catatan kecil perjalanan ke Jepang tempo hari dibuang sayang. Daripada basi terlupa.

Mungkin banyak kita mendengar bagaimana tingginya tingkat stres di Jepang, baik karena tekanan kerja maupun studi. Hal ini kemudian bagi saya ternyata cukup terbukti dengan menyaksikan langsung fenomena 'orang stres', yang apabila diukur dengan waktu kunjungan saya selama 8 hari, hampir setiap harinya bertemu 'orang stres'.

Hari pertama tiba di Kyoto, pertama kali naik bis kota, kami duduk di belakang seorang anak muda kira-kira umur 20an awal yang tampak rapi, bersih dan menyandang ransel. Ia tampak berbicara panjang lebar ditambah gerakan tangan dengan penumpang sebelahnya. Semuanya tampak normal sampai ketika penumpang sebelahnya tadi turun. Anak muda tadi terus saja berbicara dengan gerakan tangan yang cukup ekspresif seolah menjelaskan sesuatu namun kali ini tanpa lawan bicara, alias 'ngomong' sendiri. Menjadi menarik adalah penumpang lain yang tampaknya terbiasa dengan fenomena ini. Kebanyakan penumpang yang baru naik hanya melirik sesaat lalu kembali tak peduli. Penumpang pun tak sungkan duduk di sebelahnya, selain karena memang tampak bersih, juga 'harmless'. Trayek bis yang kami tumpangi itu, trayeknya merupakan rute melingkar yang jauh. Kami naik hanya sekitar 4 atau 5 stop dari terminal yang merupakan awal rute dan kemudian setelah 'melingkar', kami turun di terminal awal rute tadi. Anak muda itu belum juga turun. Tarif bis itu 'flat rate' 220Y sekali naik-turun. Jadi entah dari kapan dan sampai kapan anak muda tadi menumpang bis tersebut.

Bis kota tampaknya memang favorit 'orang stres' di Jepang untuk sarana aktualisasi diri. Di hari-hari berikutnya, beberapa kali kami bertemu aneka 'orang stres' di dalam bis dan perhentian bis. Kebanyakan hanya duduk-duduk dan berbicara atau tertawa-tawa sendiri. Hanya satu kali yang pernah kami temui di bis dengan penampilan 'lecek'. Itupun naik sebentar lalu 2 atau 3 stop kemudian ia turun tanpa membayar. Supir tampaknya paham dan diam saja.

Di kuil kami juga menemui 'orang stres'. Suatu pagi, kira-kira masih pukul 06.30, kami sampai di sebuah kuil yang cukup terkenal sebagai tujuan turis di kota Kyoto. Suasana masih sepi. Sengaja kami datang pagi-pagi karena saya ingin memuaskan diri foto-foto di 'hotspot'nya yang terkenal antri apabila datang terlalu siang. Herannya, orang yang pertama kali kami temui di pelataran kuil tersebut adalah 'orang stres'. Kali ini agak lebih tua, sekitar awal 40an. Cukup tinggi besar dan gemuk untuk ukuran rata-rata orang Jepang. Rapi, bersih, serta menggunakan setelan kemeja dan pantalon, lengkap dengan tas kerja selempang. Padahal itu hari Sabtu. Dari awal sudah tampak aneh. Ia tampak berjalan tergesa mondar-mandir, berbicara sendiri, memotret, lalu tertawa-tawa, berbicara lagi, kemudian memotret lagi, demikian berulang-ulang. Kali ini interaktif! Orang itu menghampiri kami, berbicara sambil menyodorkan kameranya. Rupanya minta difotokan. Saya bersedia saja karena memang 'gesture'nya tidak mengancam walaupun tidak ramah. Pose fotonya berdiri tegap, macam mengikuti upacara bendera. Selesai difoto, sambil mengambil kameranya, ia meminta kamera yang saya pegang sambil menunjuk-nunjuk ke tempatnya berpose tadi. Rupanya ia mau bantu memotret kami berempat. Saya berikan kamera saya dan kemudian kami sekeluarga berpose. Hasilnya lumayan walaupun agak miring dan tidak center. Setelah saya sampaikan terima kasih, ia berlalu melakukan aktifitasnya semula.

Hari terakhir sebelum kami pulang, 'orang stres' yang kami temui adalah yang paling 'galak'. Ia kami jumpai pagi-pagi di sebuah taman kota di Osaka. Sudah cukup umur, mungkin lewat 50'an. Tampak seperti orang sedang senam pagi, lengkap dengan baju 'training' dan botol minum. Mulai aneh adalah ketika gerakan senamnya 'ngawur' lalu berteriak-teriak seperti memarahi seseorang, kemudian batuk-batuk 'dalam' dan meludah. Hebatnya, walaupun stres, ia meludah ke tempat sampah, tidak sembarangan. Anak-anak kali ini mulai kuatir walaupun belum takut. Ada gilirannya ketika ia melihat ke arah kami dan karena gesturenya memang agak membuat kurang nyaman, saya pelototi balik. Tidak lama ia beringsut melakukan senamnya di sisi balik sebuah pohon.

Konon dari yang saya dengar, di Tokyo yang merupakan pusat kesibukan di Jepang, fenomena ini lebih banyak lagi dijumpai. Sedikit perenungan yang terbersit adalah ketika langkah cepat kemajuan kadang tidak bisa dikejar oleh semua orang. Mudah-mudahan mereka tetap dalam kepedulian orang di sekitarnya tentu juga malah pemerintahnya.

1 Comments:

Blogger Andi Muhlis said...

He he udah lebih setahun tulisan ini, baru dibaca gara-gara WA :) ... itu wong stress ngomong sendiri pada pake blutut kali, Om :D

6:50 PM  

Post a Comment

<< Home