Konro Iga Bakar Saus Kacang!!
Ada tiga hal yang masih menahan saya berdiam di Endonesa - negeri ontran-ontran ini, serta tidak berusaha pergi mengais hidup ke negeri orang. Pertama skill, yang memang saya tidak punya. Kedua, koneksi yang memang saya juga tidak punya. Terakhir yang ketiga adalah makanan khas di sini yang layak dan berhak menyandang kata "Indonesia". Terentang mulai dari mie aceh sampai nasi jagung kuah gulai ala Nusa Tenggara. Paling istimewa serta memudahkan, semua tersedia di Bandung.
Beberapa hari lalu ketika melewati Jl Gandapura yang merupakan area sayap Jl Riau, kembali saya melihat baliho dan spanduk baru yang terpasang di sebuah bangunan semi permanen. "Konro dan Coto Makassar", salah satu makanan Indonesia favorit saya. Karena saat itu masih dalam misi wira-wiriswasta, cukup saya hapalkan tempatnya dan teguh-kukuhkan niat untuk mampir secepatnya di lain hari.
Kemarin akhirnya saya sempat mampir bersama istri. Tempatnya semi permanen sederhana beratap terpal plastik oranye tapi dengan meja bangku kayu yang cukup layak dan kuat menahan 40kg overweight saya. Menu dihamparkan oleh seorang pelayan. Menu yang buruk bagi konsumen karena tidak dicantumkan harga. Tentu saja segera saya wawancara pelayannya mengenai harga seluruh produknya. Coto Makassar Rp.11.000,-, konro Rp.18.000,-, konro dengan iga dibakar Rp.22.000,-. Semuanya per porsi. Weh... mahal amat!
OKlah, untuk makanan (di rumah makan) baru saya bersedia menerima kejutan. Pesan satu coto Makassar daging untuk istri dan satu konro dengan iga dibakar untuk saya. Nasi dua porsi. Satu teh botol. Komplimen teh pahit dua gelas besar juga dihidangkan.
Diskusi kecil antara saya dan istri mengenai bungkusan emping yang tersedia di atas meja. Saya menebak harganya Rp.4.000,-/bungkus. Istri saya menebak Rp.2.000,-. Pelayan yang datang kemudian menjawab Rp.1.000,-/bungkus. Murah! ternyata emping yang kualitasnya kurang baik. Agak keras, tapi habis 2 bungkus.
Coto Makassar dan nasi datang duluan. Coto datang di mangkuk kecil ukuran mangkuk soto semarang atau soto kudus. Lebih kecil dari mangkok baso, tapi lebih besar dari mangkuk nasi di fastfood masakan jepang terkemuka. Volume ini mengernyitkan dahi. "..dikit amat!!". Memang hidup penuh kejutan ketika kuah kelamnya yang kira-kira kurang 1cm dari atas mangkuk dicoba 'dikeruk' dengan sendok. Sedikit saja di bawah permukaan kuah, mungkin kurang dari 1cm juga, sudah berjumpa dengan potongan-potongan daging kira-kira ukuran 2x2x2cm. Dikira-kira lagi, total sekitar 125-150 gram daging berjejal di dalam mangkuk tersebut. Coto datang dengan pendamping sambal, jeruk lemon, dan garam. Ini menjelaskan mengapa kuahnya sangat kurang asin. Bumbunya sangat pas. Bulat. Kalaupun menggunakan MSG, sama sekali tidak ada gurih yang berlebihan. Kaldunya juga terasa 'rich'. Pokoke kuahnya sempurna, terlebih setelah ditambah garam, kecap manis dan asam dari jeruk lemon sesuai selera. Dagingnya empuk dengan bumbu terasa meresap dan 'mrotholi'- orang Perancis bilang. Beberapa potong daging masih berselaput lemak tipis yang gurih.
Sayangnya sambal kurang pedas. Apabila ditambah lagi, khawatir malah merusak rasa 'makanan pokok'nya. Setelah numpang mencicip 1-2 potong daging ditambah kuahnya, coto Makassar segera dikembalikan pada yang berhak, yaitu istri saya. (yang kemudian tandas dengan 2/3 nasi). Mengingat memang daging bagus sudah tidak ada yang dibawah Rp.45.000-/kg, price/performance ~1
Konro iga bakar datang selanjutnya. Lagi-lagi mengejutkan dari segi tampilan. 1 potong iga yang cukup besar serta anehnya disiram bumbu kacang dan kecap seperti sate ayam Madura. Lengkap dengan taburan bawang goreng. Kuah pendampingnya tampak lebih 'cawerang' - orang Kanada bilang, dari pada kuah cotonya. Rasanya juga lebih tawar tapi tetap pas karena 'mainshow'nya pada iga bakar. Dikira-kira lagi, mungkin porsi iga bakarnya sekitar 200 gram. Dicabik dengan pisau, seperti yang orang Perancis tadi bilang, dagingnya langsung 'mrotholi'. Mudah dipisahkan dari tulangnya. Walaupun masih ada sedikit yang tersisa lengket. Tekstur dagingnya yang langsung buyar tampak kurang 'juicy' - orang Cinunuk bilang, dan tampak 'overcooked' - orang Sleman bilang. Mungkin dimasak 'presto' terlalu lama sebelum kemudian dibakar. Benar saja, walaupun tidak 'juicy' tapi daging tersebut empuk, tidak ada samar amis dan sangat meresap bumbunya. Ada rasa rempah yang dominan tapi lembut. Pala?
Penasaran dengan fungsi bumbu kacang, saya coba lagi dagingnya dengan bumbu kacang serta nasi yang telah sedikit disiram kuah yang sudah dibumbui lengkap. Hmmm... heaven!! Aneka kejutan terus berlangsung, misal ketika menemukan bagian lemak yang sangat lembut dan 'melt' - orang Porong bilang, cukup dikunyah dengan lidah. Terlebih dengan cara makan yang terlebih dahulu dicemplungkan ke kuah lalu diseruput berikut kuahnya. Aneh lagi saya juga mendapati bagian kenyal seperti 'kikil' - orang Swedia bilang. Mungkin otot atau tulang rawan, tidak peduli apa itu selama tetap enak. Finally, menentukan price/performancenya agak sulit, karena saya mengharapkan iga bakar yang 'juicy' tetapi dari segi rasa, variasi bumbu kacang dan ukuran porsi cukup over ekspektasi. Timbang-timbang sambil cukup kekenyangan, wajarnya harga sekitar Rp.18.000,- saja untuk per porsi konro iga bakar ini. So, price/performance >1.
Total kerusakan Rp.42.500,-. Kelak bila kepedulian akan berat badan, hipertensi dan kolestrol sedang tiada, saya pasti kembali! "I'll be back" - aktor laga asal Solok bilang.
::Konro & Coto Makassar, Jl Gandapura (kiri jalan dari arah Jl Riau) setelah perempatan dengan Jl Patrakomala.
Beberapa hari lalu ketika melewati Jl Gandapura yang merupakan area sayap Jl Riau, kembali saya melihat baliho dan spanduk baru yang terpasang di sebuah bangunan semi permanen. "Konro dan Coto Makassar", salah satu makanan Indonesia favorit saya. Karena saat itu masih dalam misi wira-wiriswasta, cukup saya hapalkan tempatnya dan teguh-kukuhkan niat untuk mampir secepatnya di lain hari.
Kemarin akhirnya saya sempat mampir bersama istri. Tempatnya semi permanen sederhana beratap terpal plastik oranye tapi dengan meja bangku kayu yang cukup layak dan kuat menahan 40kg overweight saya. Menu dihamparkan oleh seorang pelayan. Menu yang buruk bagi konsumen karena tidak dicantumkan harga. Tentu saja segera saya wawancara pelayannya mengenai harga seluruh produknya. Coto Makassar Rp.11.000,-, konro Rp.18.000,-, konro dengan iga dibakar Rp.22.000,-. Semuanya per porsi. Weh... mahal amat!
OKlah, untuk makanan (di rumah makan) baru saya bersedia menerima kejutan. Pesan satu coto Makassar daging untuk istri dan satu konro dengan iga dibakar untuk saya. Nasi dua porsi. Satu teh botol. Komplimen teh pahit dua gelas besar juga dihidangkan.
Diskusi kecil antara saya dan istri mengenai bungkusan emping yang tersedia di atas meja. Saya menebak harganya Rp.4.000,-/bungkus. Istri saya menebak Rp.2.000,-. Pelayan yang datang kemudian menjawab Rp.1.000,-/bungkus. Murah! ternyata emping yang kualitasnya kurang baik. Agak keras, tapi habis 2 bungkus.
Coto Makassar dan nasi datang duluan. Coto datang di mangkuk kecil ukuran mangkuk soto semarang atau soto kudus. Lebih kecil dari mangkok baso, tapi lebih besar dari mangkuk nasi di fastfood masakan jepang terkemuka. Volume ini mengernyitkan dahi. "..dikit amat!!". Memang hidup penuh kejutan ketika kuah kelamnya yang kira-kira kurang 1cm dari atas mangkuk dicoba 'dikeruk' dengan sendok. Sedikit saja di bawah permukaan kuah, mungkin kurang dari 1cm juga, sudah berjumpa dengan potongan-potongan daging kira-kira ukuran 2x2x2cm. Dikira-kira lagi, total sekitar 125-150 gram daging berjejal di dalam mangkuk tersebut. Coto datang dengan pendamping sambal, jeruk lemon, dan garam. Ini menjelaskan mengapa kuahnya sangat kurang asin. Bumbunya sangat pas. Bulat. Kalaupun menggunakan MSG, sama sekali tidak ada gurih yang berlebihan. Kaldunya juga terasa 'rich'. Pokoke kuahnya sempurna, terlebih setelah ditambah garam, kecap manis dan asam dari jeruk lemon sesuai selera. Dagingnya empuk dengan bumbu terasa meresap dan 'mrotholi'- orang Perancis bilang. Beberapa potong daging masih berselaput lemak tipis yang gurih.
Sayangnya sambal kurang pedas. Apabila ditambah lagi, khawatir malah merusak rasa 'makanan pokok'nya. Setelah numpang mencicip 1-2 potong daging ditambah kuahnya, coto Makassar segera dikembalikan pada yang berhak, yaitu istri saya. (yang kemudian tandas dengan 2/3 nasi). Mengingat memang daging bagus sudah tidak ada yang dibawah Rp.45.000-/kg, price/performance ~1
Konro iga bakar datang selanjutnya. Lagi-lagi mengejutkan dari segi tampilan. 1 potong iga yang cukup besar serta anehnya disiram bumbu kacang dan kecap seperti sate ayam Madura. Lengkap dengan taburan bawang goreng. Kuah pendampingnya tampak lebih 'cawerang' - orang Kanada bilang, dari pada kuah cotonya. Rasanya juga lebih tawar tapi tetap pas karena 'mainshow'nya pada iga bakar. Dikira-kira lagi, mungkin porsi iga bakarnya sekitar 200 gram. Dicabik dengan pisau, seperti yang orang Perancis tadi bilang, dagingnya langsung 'mrotholi'. Mudah dipisahkan dari tulangnya. Walaupun masih ada sedikit yang tersisa lengket. Tekstur dagingnya yang langsung buyar tampak kurang 'juicy' - orang Cinunuk bilang, dan tampak 'overcooked' - orang Sleman bilang. Mungkin dimasak 'presto' terlalu lama sebelum kemudian dibakar. Benar saja, walaupun tidak 'juicy' tapi daging tersebut empuk, tidak ada samar amis dan sangat meresap bumbunya. Ada rasa rempah yang dominan tapi lembut. Pala?
Penasaran dengan fungsi bumbu kacang, saya coba lagi dagingnya dengan bumbu kacang serta nasi yang telah sedikit disiram kuah yang sudah dibumbui lengkap. Hmmm... heaven!! Aneka kejutan terus berlangsung, misal ketika menemukan bagian lemak yang sangat lembut dan 'melt' - orang Porong bilang, cukup dikunyah dengan lidah. Terlebih dengan cara makan yang terlebih dahulu dicemplungkan ke kuah lalu diseruput berikut kuahnya. Aneh lagi saya juga mendapati bagian kenyal seperti 'kikil' - orang Swedia bilang. Mungkin otot atau tulang rawan, tidak peduli apa itu selama tetap enak. Finally, menentukan price/performancenya agak sulit, karena saya mengharapkan iga bakar yang 'juicy' tetapi dari segi rasa, variasi bumbu kacang dan ukuran porsi cukup over ekspektasi. Timbang-timbang sambil cukup kekenyangan, wajarnya harga sekitar Rp.18.000,- saja untuk per porsi konro iga bakar ini. So, price/performance >1.
Total kerusakan Rp.42.500,-. Kelak bila kepedulian akan berat badan, hipertensi dan kolestrol sedang tiada, saya pasti kembali! "I'll be back" - aktor laga asal Solok bilang.
::Konro & Coto Makassar, Jl Gandapura (kiri jalan dari arah Jl Riau) setelah perempatan dengan Jl Patrakomala.
Labels: Mbadog
1 Comments:
Bos, yang namanya Konro itu iga sapi plus kuahnya yang hitam legam. Istilah konro bakar itu sebenarnya baru-baru saja ditemukan. Kalo tidak salah dari Daeng Tata (Casablanca) Jkt yang berinovasi dengan membakar iga tsb. Di habitat aslinya di Makassar, sepengetahuan gw tidak ada. Paling tidak hingga tahun 90-an.
Mengenai harga, kelihatannya hampir sama dengan pendahulunya yang berlokasi di ujung jalan Gandapura (seberang restoran Baraya), jadi masih dalam tahap wajar. Tapi memang masih lebih mahal daripada Cabang Daeng Tata di setiabudi (seberang NHI).
Ditunggu laporan kuliner selanjutnya nih :D
Post a Comment
<< Home