Thursday, February 15, 2007

Yang Ke-dua

Lagi-lagi dengan menyalahkan kualitas serta kuantitas waktu hidup yang buruk akibat wira-wiriswasta, saya tidak pernah punya kesempatan menyimak isi siaran televisi dengan baik. Kalaupun ada waktunya, lebih sering mata hanya memandang tanpa menyerap apalagi mengingat isi dari siaran tadi. Biasanya sepulang wira-wiri di maghrib hari, setelah bermain lalu menidurkan anak-anak dan menunggu kantuk.

Salah satunya adalah klip lagu yang kadang diputar di beberapa televisi swasta. Setelah beberapa kali-kebetulan tertonton, ada sebuah lagu yang baru malam ini saja saya simak pesan dan kesan yang disampaikan lewat liriknya. Ternyata menarik, ceritanya seorang perempuan yang rela dijadikan 'yang ke-dua', yang penting bahagia katanya.

Rasanya emansipasi sudah mencapai momen-momen yang menyenangkan. Setelah hanya berusaha 'menyamai', kini perempuan sudah mulai bereksplorasi untuk mengeksploitasi lawan jenisnya (atau sudah mulai bereksploitasi untuk mengeksplorasi lawan jenisnya? entah... balik-balik saja sendiri, pokoknya begitulah maksudnya)

Mengingatkan saya lagi pada sebuah artikel yang pernah saya baca di sebuah majalah online, yang memberitakan di timur-tengah sana, sedang tren para janda yang rela dijadikan 'yang ke-dua', bahkan 'pen-dua'nya mendapat dispensasi untuk tidak menafkahi secara materi. Alasannya, terlalu banyak janda (kaya) yang sulit menjadi 'yang pertama' kembali, sementara sebagai manusia yang amat sangat biasa, mereka pun memiliki 'kebutuhan', tidak melulu yang 'body', tapi juga 'budi'. Tentunya hal ini disambut hangat para prianya, kalau istilah gaul yang sarkastik di Bandung; 'duit weuteuh, nanggung euweuh, xxxxxx baseuh'. Mimpi beranak banget kan?

Sebetulnya menjadi 'yang ke-dua' adalah hal praktis buat perempuan. Andaikan seorang perempuan yang sangat sibuk, mengutamakan karir, atau malah beralir pikiran feminis chauvinis akan sangat merepotkan memiliki pasangan yang penuntut, yang menginginkan perempuan berfungsi sebagai kodrat(kuno)nya. Sementara mungkin dalam dirinya, perempuan masih memiliki keinginan baik 'body' maupun 'budi' terhadap lawan jenis.

Menjadi 'yang ke-dua' sangat memudahkan, biarkan sang pria memperoleh tuntutannya akan kodrat(kuno) pelayanan perempuan dari 'yang pertama', sementara 'yang ke-dua' cukup menikmati tanpa perlu melayani serta merawatnya. Tidak perlu cemas menunggunya pulang ke rumah setiap malam. Tidak perlu cemas apakah ia menyukai masakan hari ini - bahkan tidak perlu memasak sama sekali. Tidak perlu repot menyiapkan baju, sepatu serta dasinya. Paling utama, tidak perlu mendengarkan dengkurannya setiap malam, karena pria hanya senang 2 hal setelah 'selesai' yaitu; tidur mendengkur atau pulang. Dan buat pria 'pen-dua' tidak ada yang lebih memudahkan serta melegakan selain pulang.

Ide modernisasi menunggu kantuk ini makin berkembang ke arah yang lebih 'ngawur' dan rasanya makin kurang pantas disampaikan, tapi pada intinya saya mencintai modernisasi. Bahkan tidak segan 'mengalami' modernisasi ini. Saya selalu terbuka untuk di-eksplorasi dan di-eksploitasi.

Terlebih kesempatannya adalah jadi 'pen-tiga' juga 'pen-empat'. Happy Valentine!

2 Comments:

Blogger Iman Brotoseno said...

nanti saya tanya Aa Gym..

1:24 AM  
Anonymous Anonymous said...

Mengikuti cara menulis pikiran di buku-buku feminis, sebenarnya ide monogami dan poligami itu 'socially-constructed'. Jadi tergantung biasa atau tidak biasa.
Lho emangnya ini tentang poligami ... ha..ha...

7:54 PM  

Post a Comment

<< Home