Setengah Gelas Itu
"...saya orang yang menganggap setengah gelas penuh..." kata sang artis di acara infotainment di TV (lagi). Personifikasi setengah gelas penuh dan kosong mengingatkan saya ke sebuah fragmen dialog bertahun lalu antar kawan di sebuah rumah makan kecil di Bandung.
Ketika kami memesan makanan dan minuman, seorang kawan - sebut saja 'A', setelah memesan makanan, memesan minumannya, "Teh botol, pakai gelas besar dan es, 2 botol masukin semua biar gelasnya penuh...".
Seorang kawan lain - sebut saja 'B', berkomentar,"...wah pesimisan abis lu, gelas harus penuh terus..."
A menjawab, "...biar gak usah pesan lagi kalau mau tambah, dan murah teh botol sih, 10 juga gua bayar!"
Saat itu makan-makan berakhir dengan A masih menambah lagi teh botolnya.
Hari ini, A bekerja di perusahaan multinasional dengan posisi lumayan, sudah mencicil sendiri rumah di perumahan yang cukup baik di Jakarta, mobilpun keluaran terbaru walaupun masih kelas entry level.
B tidak pernah berjumpa lagi, tidak pernah mendengar kabarnya dan belum melunasi hutangnya pada saya.
Rasanya psikoanalisa berdasar setengah gelas perlu penambahan golongan. Selain mereka yang memandang setengah gelas penuh dan mereka yang memandang setengah gelas kosong, seharusnya ditambahkan pula dengan mereka yang merasa perlu berkomentar tentang bagaimana setengah gelas milik orang lain.
Saya sendiri memandang setengah gelas kosong. Dan selalu berusaha membuatnya penuh.
Ketika kami memesan makanan dan minuman, seorang kawan - sebut saja 'A', setelah memesan makanan, memesan minumannya, "Teh botol, pakai gelas besar dan es, 2 botol masukin semua biar gelasnya penuh...".
Seorang kawan lain - sebut saja 'B', berkomentar,"...wah pesimisan abis lu, gelas harus penuh terus..."
A menjawab, "...biar gak usah pesan lagi kalau mau tambah, dan murah teh botol sih, 10 juga gua bayar!"
Saat itu makan-makan berakhir dengan A masih menambah lagi teh botolnya.
Hari ini, A bekerja di perusahaan multinasional dengan posisi lumayan, sudah mencicil sendiri rumah di perumahan yang cukup baik di Jakarta, mobilpun keluaran terbaru walaupun masih kelas entry level.
B tidak pernah berjumpa lagi, tidak pernah mendengar kabarnya dan belum melunasi hutangnya pada saya.
Rasanya psikoanalisa berdasar setengah gelas perlu penambahan golongan. Selain mereka yang memandang setengah gelas penuh dan mereka yang memandang setengah gelas kosong, seharusnya ditambahkan pula dengan mereka yang merasa perlu berkomentar tentang bagaimana setengah gelas milik orang lain.
Saya sendiri memandang setengah gelas kosong. Dan selalu berusaha membuatnya penuh.
2 Comments:
Tapi kekosongannya itulah yang menjadikannya bermakna ... (Tao Te Ching?)
Betul, seperti lubang. Ia ada karena ketiadaan. (halah!)
Post a Comment
<< Home