Sunday, December 03, 2006

Itong

Itong adalah nama anjing peliharaan keluarga kami. Jenisnya campuran, ia peranakan herder dan chow-chow. Kombinasi ini menghasilkan bentuk badan dan kaki lebih tinggi langsing daripada murni keturunan chow-chow tapi juga lebih tambun daripada herder asli. Pada wajah, telinga tegak dan moncong panjang ber'andeng-andeng' khas herder sekaligus berwajah lebar dan berlidah ungu seperti chow-chow. Bulunya juga memiliki karakter kedua jenis anjing tersebut, bulunya tebal tetapi lebih kaku daripada bulu anjing jenis chow-chow dan warnanya coklat muda menggelap ke bagian ujung-ujung bulu seperti pada herder. Ekornya panjang seperti herder namun dengan bulu-bulu panjang lembut sebagaimana chow-chow. Sifatnya lebih banyak seperti anjing jenis chow-chow; kalem, pendiam, dan jarang menggonggong.

Januari lalu, setelah hampir 12 tahun hidup bersama kami layaknya anggota keluarga, Itong mati karena tua. Entah apa yang 'terjadi' pada anjing-anjing setelah mereka mati hingga rasanya kurang layak memanjatkan doa bagi mereka. Paling pas hanya berharap. Berharap bahwa selama ia hidup, ia merasa bahagia dan hangat di antara kami sebagaimana kami merasakan kehangatan dari keberadaannya selama ini.

Tertekan dan Tidak Mau Makan
Itong tiba di rumah kami kira-kira di akhir tahun 1994. Umurnya waktu itu menurut penjualnya, lebih kurang 3 atau 4 minggu. Penjual tersebut semula membelinya dari penjual lain dengan niatan untuk dipelihara, namun karena tidak biasa memelihara anjing dan bingung karena Itong tidak mau makan dan minum susu, ia menjualnya kembali. Seingat saya, ayahlah yang melihat iklan penjualan anjing itu di koran dan ibu yang berangkat membelinya. Kalau tidak salah di kawasan jalan nama-nama wayang di daerah Jalan Pajajaran di Bandung. Harganya waktu itu Rp. 125.000,- atau kira-kira setengah dari uang kuliah satu semester saya kala itu.

Setibanya di rumah, kami sekeluarga sepakat menamainya Itong, mungkin supaya mirip dengan nama anjing kami yang mati beberapa bulan sebelumnya, si 'Onthong', kadang dipanggil 'Otong'. Ketika datang Itong tampak ketakutan, dengan ekor terlipat di antara kedua kaki belakang kecilnya, ia bersembunyi di bawah meja di ruang keluarga rumah kami. Bila didekati, ia akan menggeram namun bila kemudian disentuh, geramannya berubah menjadi suara lenguhan yang terkesan mengeluh, bukan lengkingan ketakutan. Saat itupun susu yang diberikan tidak disentuhnya, apalagi makanan. Menurut ayah, Itong terlalu kecil untuk dipisahkan dengan induknya, sehingga ia tertekan.

Agak lama sebelum ia akhirnya mau juga menyentuh susunya, hanya saja tidak boleh ada orang yang ia tahu memperhatikannya. Piring susunya harus ditinggalkan di bawah meja, baru kemudian setelah yakin tidak ada yang memperhatikannya, ia mulai mengendus dan sedikit mendorong-dorong mangkuk itu dengan moncongnya baru kemudian mulai meminumnya. Perilaku ritual makan yang kemudian akan ia bawa sampai mati bertahun berikutnya.

Sampai beberapa hari kemudian, ia masih banyak berdiam di bawah meja di ruang keluarga, tetapi ia saat itu sudah lebih bersahabat, walaupun masih menggeram ketika didekati, setelah disentuh dan dibelai, ia akan segera keluar untuk mengikuti si pembelainya tadi. Apabila kemudian kita duduk, ia akan segera bermain-main dengan kaki kita, terkadang menjilati jari-jari kaki atau kemudian tidur menyandarkan kepala di atas jari-jari kaki. Karena ukurannya saat itu yang kecil saja, tidak lebih dari tengadahan kedua telapak tangan saya disatukan, sering ia saya tidurkan di atas perut saya sambil saya usap-usap kepalanya. Tak lama ia akan tidur-tidur 'ayam' sambil sesekali mengintip kemudian memejamkan matanya lagi. Beberapa waktu kemudian, karena ayahlah yang lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya, ia lebih banyak mengikuti ayah sampai akhirnya ia tidur di kamar ayah dan ibu. Di lantai, tepat di bawah-samping posisi kaki dari ranjang tidur ayah.

BAB Harus Diantar
Keluarga kami memelihara anjing semenjak awal 1970an, seingat saya sudah lebih kurang 11 ekor anjing yang pernah menjadi bagian keluarga kami termasuk Itong. Ritual awal ketika anjing-anjing itu datang adalah membiasakan mereka untuk buang hajat di luar rumah. Awalnya mereka akan buang air besar dan kecil di dalam rumah, di keset, karpet dan malah naik ke kursi. Ibu yang biasanya menjadi pelatih, dengan cara-cara emosional, anjing yang sudah buang hajat di dalam rumah akan dimarahi habis-habisan sampai ketakutan, biasanya disabeti dengan sapu lidi lalu kemudian dibawa ke luar rumah untuk digesekkan bagian pantatnya ke rerumputan. Selalu efektif, demikian pula untuk Itong.

Setelah kemudian agak lebih besar sedikit, Itong mulai dibawa berjalan-jalan ke luar pagar rumah, konon untuk tidak mengurangi kemampuan motorik alaminya sebagai anjing. Anjing peliharaan yang kurang dibawa berjalan-jalan, kabarnya akan malas bergerak, otot-ototnya melemah, kemudian mudah terkena penyakit, lalu tentu saja tidak berumur panjang. Siapa yang menemaninya berkeliling di dalam kompleks perumahan tempat tinggal keluarga kami selalu berganti, namun lebih sering bersama pembantu rumah tangga. Jalan-jalan ini biasanya dilakukan sore hari, sekitar pukul 4 atau 5 sore. Kebiasaan ini kemudian disertai kebiasaannya buang hajat sambil jalan-jalan, alhasil, 'teman' jalannya harus menemani bahkan cenderung menontonnya buang hajat. Hampir semua sudut kompleks perumahan pernah ia 'hajati'. Apabila hari hujan atau kebetulan tidak ada seorangpun yang sempat mengantarnya jalan-jalan, Itong akan diam saja di rumah, walaupun kelak setelah ia lebih dewasa, dan pintu ke luar rumah terbuka lebar, ia akan tetap berkeliaran di dalam rumah atau halaman dan tidak buang hajat hingga berhari-hari sampai ada seseorang yang mengantarnya jalan-jalan.

Saya sendiri rutin mengajaknya berjalan-jalan, tidak sering memang, sekitar 1 atau 2 kali seminggu. Awalnya, Itong harus mengenakan rantainya ketika berjalan-jalan, mungkin khawatir ia akan mendadak lari menyeberang jalan ketika ada kendaraan atau mengejar kucing atau berkelahi dengan anjing lain pada rute yang akan dilewati. Entah mengapa dari seluruh orang di rumah, ia tampak patuh karena takut hanya kepada saya. Hanya saya yang bisa memerintahkannya untuk 'salam', mengangkat kaki depan kanannya ketika kita julurkan tangan ke arahnya. Hanya dengan saya pula ia bisa berjalan-jalan tanpa rantai, karena sedikit saja ia menjauh dan saya panggil dengan nada agak keras, ia akan segera kembali menghampiri.

Selain jalan-jalan dengan berjalan kaki, saya sering pula mengajaknya untuk jalan-jalan dengan mobil. Bila dibukakan pintu, ia akan antusias meloncat naik untuk kemudian duduk di kursi depan. Ia senang mendekatkan moncongnya ke arah jendela yang sedikit terbuka. Mungkin ia menikmati hembusan angin yang lewat dari celah jendela itu ketika mobil melaju. Biasanya matanya akan setengah terpejam seolah ia sangat menikmatinya.

Kelak ketika ia pindah mengikuti kepindahan orangtua saya ke rumah baru, saya sangat jarang bisa meluangkan waktu berjalan-jalan dengannya ketika mampir ke rumah orangtua. Tapi kepatuhannya untuk bisa jalan-jalan tanpa rantai tetap sama.

Pindah
Akhir 1999, kedua orang tua saya memutuskan pindah rumah, menempati sebuah rumah lain di kawasan Bandung Utara yang selama ini hanya disewakan ke orang lain sementara saya tetap menempati rumah lama. Pindahnya mereka tentunya diikuti oleh Itong. Praktis semenjak itu kami jarang sekali bertemu, mungkin hanya bisa bertemu dengannya sekitar satu dua kali saja tiap minggunya, itupun hanya sebentar. Terlebih setelah menikah, dan kemudian memiliki anak, saya makin jarang melihatnya, terkadang hanya satu kali dalam sebulan. Dikarenakan ayah atau ibu masih menyempatkan mampir tiap hari ke rumah yang masih saya tempati sampai saat ini.

Setelah pindah mengikuti orang tua saya, Itong semakin dekat hanya dengan ayah. Bila sedang di rumah, kemanapun ayah pergi ke sudut-sudut rumah, Itong akan selalu mengikutinya.

Sewaktu kakak perempuan saya menikah, rangkaian prosesi pernikahan dilakukan di rumah orang tua saya. Pada seluruh rangkaian prosesi itu pula Itong mengikuti ayah saya yang tentunya sangat terlibat. Hanya pada proses sakral akad nikah, Itong dipaksa masuk ke dalam kamar lalu dikurung di dalamnya. Setelah itu, ia kembali tampak berada di antara kaki ayah. Sesuai sifatnya yang pendiam dan tenang, saat itu ia hanya duduk diam di sisi kaki ayah. Kecuali saat ayah bergerak berpindah tempat, Itong akan segera sigap ikut bergerak mengikuti kemana ayah pergi.

Ketika saya belum menikah, terkadang saya menginap di rumah orang tua. Ketika menginap, pasti Itong saya ajak serta untuk tidur menemani di kamar, biasanya ia ikut naik ke ranjang lalu kemudian bila saya sudah tertidur ia akan turun kembali kemudian tidur di sisi kaki tempat tidur.

Proses penuaannya mulai terlihat, beberapa kali menginap untuk terakhir kalinya sebelum saya menikah, Itong sudah mulai tidak mampu loncat sendiri naik ke tempat tidur, terkadang kaki belakangnya tertinggal dan tersangkut di sisi ranjang. Setelah saya menikah kemudian, saya tidak pernah lagi mengajak Itong naik ke ranjang bila menginap di rumah orang tua, tentunya karena sudah ada istri tercinta di ranjang yang pasti enggan ditemani pula oleh seekor anjing. Belum lagi istri saya mengidap asma yang mungkin bisa kambuh karena alergi terhadap bulu anjing. Saya tidak pernah sempat melihatnya gagal meloncat ke atas ranjang.

Waktu-Waktu Terakhir
Setiap saya sekeluarga berkunjung ke rumah orang tua, saya tidak pernah lama berinteraksi dengan Itong, biasanya hanya sekedar mengusap-usap kepalanya sebentar lalu mengajaknya bersalaman. Biasanya ia pun hanya mengendus sebentar, menggoyangkan ekornya lalu menyandarkan kembali kepalanya di atas kakinya di lantai, tepat seperti foto yang saya lampirkan di atas. Terkadang saya dan anak sulung saya sedikit bermain dengannya, itupun tidak akrab, karena anak saya tidak berani terlalu dekat. Tak jarang Itong saya usir menjauh agar anak saya dapat bermain di rumah nenek-kakeknya tanpa rasa takut. Memang semenjak kehadiran cucu-cucu dari orang tua saya, Itong banyak tersisih. Saya sempat mengamati bahwa ia cenderung lebih tidak segembira ketika masih tinggal di rumah lama. Dulu saya bisa memprovokasinya untuk berdiri dengan dua kaki belakangnya saja untuk kemudian menyandarkan kedua kaki depannya di pinggang saya atau dengan menghentak-hentakkan kaki di depannya sambil memanggil namanya, Itong segera merespon dengan berlari-lari kencang kian kemari seolah kita mengajaknya bermain kucing-kucingan dan seringainya kala itu entah kenapa seperti tertawa. Tahun-tahun belakangan ia sudah tidak mau lagi diajak bergembira, ia lebih banyak diam berkesan murung, pemalas kemudian ditambah pincang kaki belakang yang makin lama semakin parah.

Interaksi terdekat terakhir saya dengannya adalah ketika ayah meminta saya mengantar Itong ke dokter hewan untuk memeriksakan kepincangannya yang semakin parah. Ia sudah tidak mampu lagi meloncat naik ke dalam mobil sehingga saya harus menggendongnya. Demikian pula ketika turun, ia tidak berani meloncat turun untuk keluar dari mobil sehingga kembali saya harus menggendongnya turun lalu membawanya masuk ke ruangan dokter. Waktu itu menurut dokter ia terkena rematik yang disebabkan selalu tidur di atas lantai keramik yang dingin tanpa alas.

Beberapa waktu kemudian ia mulai buta, karena kebutaannya, mobilitasnya menurun. Ia hanya bergerak di sekitar ruang tengah di rumah orang tua saya, terkadang keluar di halaman untuk buang hajat. Saya beberapa kali melihatnya berjalan meniti tepian dinding untuk mencari arah. Terkadang kursi atau meja ia tabrak. Ditambah dengan kepincangannya, saya dan kakak saat itu pernah mengusulkan bahwa sudah tepat waktunya untuk mengakhiri hidupnya tanpa lebih banyak penderitaan dengan cara suntik mati, tapi orang tua saya tidak tega, "biar saja ia mati alami" kata mereka.

Karena kesibukan, saya lama tidak sempat mampir menengoknya, hanya kabar dari orang tua yang menceritakan makin memburuknya kondisi Itong. Mulai dari tidak mau makan, kemudian tidak mau minum susu, sampai akhirnya tidak mampu berdiri. Suatu malam, ibu saya menelepon dan mengabarkan bahwa Itong sudah tiduran saja dengan napas tersengal-sengal. Entah kenapa malam itu ia memaksakan diri menggonggong dengan suara lemah. Sepanjang malam. Keesokan harinya, orang tua saya harus pergi ke luar kota menghadiri acara keluarga. Hari itu hari Minggu, kira-kira pukul 2 atau 3 sore, Itong akhirnya mati. Tanpa ada anggota keluarga kami yang melihatnya. Tukang kebun kami hanya menelepon ayah untuk mengabari dan kemudian langsung menguburnya di pojok halaman depan rumah. Saya sendiri baru mengetahui di keesokan harinya. Reaksi saya biasa saja, tidak ada kesedihan, tetapi terasa benar ada rasa kehilangan yang tercuil dibawa mati oleh Itong.

Malam ini saya sempatkan menyelesaikan cerita yang amat sangat tidak lengkap menggambarkan bagaimana Itong mewarnai kehidupan keluarga kami. Saya bingung bagaimana menyikapi kematian seekor anjing. Selain berharap semasa hidup ia merasa nyaman dan hangat berada di antara kami, saya mengutip pendapat Billy Joel tentang kematian untuk menjawab kemana Itong pergi setelah mati.

Ia pergi ke sudut hati kami yang menyayanginya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home