Sunday, December 03, 2006

Niat, Kesempatan dan Kesempitan

Kejahatan dan kesuksesan adalah dua hal yang sama; terjadi bukan hanya karena ada niat tapi juga karena adanya kesempatan. Tambahan menurut saya, juga karena adanya sedikit 'kesempitan'. Bang Napi di TV rasanya pasti setuju.

Banyak orang bijak berkata bahwa orang yang sukses adalah mereka yang mampu memanfaatkan kesempatan yang mereka dapat. Kabarnya kesempatan tidak datang diundang, melainkan datang dengan sendirinya pada suatu waktu dalam hidup. Apabila kata 'chance' atau 'opportunity' diketikkan pada program "Word", lalu diproses dengan 'Thesaurus', maka akan muncul beberapa arti, menariknya salah duanya adalah 'luck' dan 'risk'. Jadi kesempatan bisa berarti sebuah keuntungan atau sebuah resiko. Apabila ada yang bertanya mengenai kesempatan, yang entah 'luck' atau 'risk', apa yang memiliki kesan kuat buat saya, maka saya akan segera teringat pengalaman sendiri bertahun lalu.

Kejadiannya sekitar pertengahan tahun 1993, karena saya teringat betul saat itu saya belum lama diterima di sebuah PTN jurusan akuntansi setelah mengikuti UMPTN yang kedua kalinya. Saat itu usia saya belum dua puluh tahun, begitu pula kisaran usia kawan-kawan pergaulan saya. Among the boys with those ages, selalu ada saja cerita tentang perempuan yang 'easy to be laid with' yang ternyata kelak setelah bertahun kemudian dihitung-hitung, kebanyakan cerita-cerita tersebut lebih banyak bualan , fantasi atau 'katanya temannya teman saya' belaka. Suatu waktu saya berkesempatan bertemu lalu dikenalkan oleh seorang kawan kepada salah satu dari 'cerita-cerita' tadi. Cukup cantik, angkatan kuliah satu tahun di atas, berkulit putih-mulus, tinggi langsing kira-kira 160an centimeter lebih sedikit, rambut kira-kira sebahu dengan model masa itu, dan baju yang dipakainya saat itu dapat memberikan gambaran bentuk tubuhnya. Memadai sebagai fantasi awal masturbasi.

Dari kawan yang memperkenalkan tadi, segala 'kabar baik' diceritakan, walaupun bukan ia yang melakukannya, cerita begitu lancar seolah ialah yang pernah melakukan pendekatan dengan menelepon, mengajak jalan-jalan, makan, 'dugem' dan terakhir menamatkannya di sebuah kamar hotel di Bandung utara dengan perempuan tadi. Sebagai remaja (bah!) pria normal dengan usia berkadar testosteron tertinggi sepanjang hidup, saya 'tertantang' untukmenjajal cerita tadi. Nomer telepon sudah di tangan dan the journey to fulfill the fantasy begin.

Setelah menge-set diri pribadi menjadi sosok yang konon diinginkan jenis perempuan tadi, petualangan diawali dengan telepon-telepon sekitar tiga kali dalam satu minggu. Kemudian saya berhasil mengajaknya jalan-jalan sekedar menyusuri pelosok Bandung di malam hari. Perjalanan dimulai di atas jam delapan malam mendekati jam sembilan karena saya tidak mau ambil resiko bertemu dengan pujaan hati lahir-batin yang biasanya tidak mungkin melakukan perjalanan malam di atas jam delapan. Rute favorit waktu itu harus melalui Jalan Dago, lalu 'legok surga' di Jalan Surapati, yaitu badan jalan yang turun amblas karena di bawahnya ada gorong air, yang apabila kita lewat dengan mobil di atasnya dengan kecepatan tinggi, akan menimbulkan efek geli bagi penumpang, cukup buat candaan awal. Dapat 'haha-hihi' diiringi tepukan sang perempuan ke lengan saya. Sukses! permulaan sentuhan fisik yang bagus. Kemudian efek horor dengan lewat Jalan Cipunegara di kawasan Jalan Citarum yang konon ada rumah bermumi. Di depan rumah yang dimaksud yang memang tampak gelap dan tak terawat, mobil dijalankan pelan-pelan. Dapat cengkeraman tangan ke lengan dan bahasa tubuh yang ingin merapat tapi terhalang tongkat persneling (denotatif), rem tangan dan tentunya jok mobil yang terpisah. Sukses! Lalu diulangi lagi dengan lewat papan iklan 'sunslik' di Jalan Progo yang konon bisa melirik. Dapat lagi! Sukses! Efek 'extreme games' didapat dengan lewat sebuah terowongan kecil di daerah belakang PT Dirgantara Indonesia, terowongan ini terbentuk oleh jalan tol Pasteur - Cileunyi yang lewat di atasnya dan menghubungkan sebuah jalan yang terputus oleh tol tersebut di kawasan kini Jalan Surya Sumantri. Terowongan ini begitu kecil dan hanya pas untuk satu mobil. Kaca spion luar Daihatsu Taft yang saya kendarai waktu itu hanya kira-kira 10 cm kurang dari dinding dalam terowongan, sementara sisi lainnya berupa trotoar tinggi dan dinding yang lumayan bila tertabrak. Cukup menegangkan apabila dilewati dengan kecepatan minimal 40 km/jam, kesannya beresiko menabrak di kedua sisi. Barangkali karena gelap dan mungkin dirasa menakutkan di malam hari, disana saya dapat cengkeraman dengan dua tangan. Sukses besar! Perjalanan diakhiri hampir tengah malam dengan mengantar pulang ke rumah kostnya di bilangan pusat kota.

Telepon keesokan harinya ditutup dengan kesimpulan 'last night was fun and looking forward to ride again with you' katanya. Sesuai pesan kawan saya tadi yang konon kata temannya temannya, 'kesuksesan' baru didapat setelah beberapa kali 'jalan' lalu diakhiri dengan 'dugem' yang berlanjut ke kamar hotel, kembali saya mengajaknya 'jalan' beberapa hari kemdian. Kali ini misinya makan malam, bukan 'makan malam' benar, tapi cukup di sebuah warung 'steak' kecil yang waktu itu belum banyak di Bandung. Saya ingat bajunya saat itu, rok lebar warna biru kotak-kotak berlipit sedikit di atas lutut, atasan tanpa lengan warna putih ditutup jaket wool warna biru tua. Sepatunya saya tidak ingat. Saya ingat lagi bahwa saya terpana melihat gayanya merokok marlboro light, its so sexy! Belum lagi sensasi melihat kemerahan sisa lipstick di bagian ujung filter rokok yang dijepitnya antara jari telunjuk dan jari tengah. So hot!

Perjalanan diakhiri dengan sedikit keliling kota lalu pukul 11 malam lebih kami sudah tiba di depan rumah kostnya. Mobil saya parkir depan pintu gerbang, mesin tidak dimatikan karena pada perjalanan sebelumnya saya cukup menunggu di dalam mobil sampai ia masuk ke gerbang lalu melihatnya masuk ke pintu rumah setelah sebelumnya melambaikan tangan dan kemudian saya pergi. Saat itu ia tampak kesulitan membuka gerbang, lalu kembali menghampiri ke mobil dan berbicara pada saya melalui jendela di sisi supir. Percakapan ini mungkin tidak akurat benar tapi kira-kira begini kejadiannya;

Saya : Kenapa?
Ia : Udah digembok euy, emang lupa pamit kalo mau pulang malam.
Saya : Gimana dong?
Ia : Ya nggak bisa masuk. Nginep di temen gua aja deh atau kita kemana gitu.

Entah karena alasan apa yang saya tidak pernah bisa mengingatnya sampai saat ini, saya turun dari mobil dan memeriksa pintu gerbang rumah kostnya itu. Tidak terkunci dan tidak ada gembok disana.

Saya : Ini nggak kekunci kok! (sambil saya buka sedikit pintu gerbangnya and feel like a hero)
Ia : Oh iya (sambil tersenyum)

Lalu ia masuk ke halaman, membuka kunci pintu rumah dengan kunci yang tampaknya ia miliki. Melambaikan tangan ke arah saya dan masuk ke dalam rumah. Saya pun naik kembali ke mobil lalu memulai perjalanan pulang. Tak perlu waktu lama sebelum saya menepuk dahi saya keras-keras dan berdesis keras "goobloook!!" Dan saya mulai mengalami 'kesempitan' celana karena membayangkan apa yang seharusnya saya dapat untuk melewati malam itu. Somehow, saya tidak pernah lagi bertemu dengan perempuan tadi. Cerita 'kesuksesan' 'temannya teman saya' dengan perempuan tadi masih sempat terdengar sampai beberapa tahun kemudian.

Menarik pula bahwa 'opportunity' menurut sang 'thesaurus' juga berarti 'freedom'. Sulit juga bagaimana cara mengaitkan arti 'kebebasan' dengan 'kesempatan'. Mungkin bila suatu saat datang sebuah pilihan besar dan kita bebas untuk memilih, maka saat itulah datang sebuah kesempatan.

Kira-kira dua tahunan setelah cerita di atas, saya memutuskan meninggalkan kuliah akuntansi. Sebetulnya pilihan berat. Saya 'kesempitan' waktu kala itu. Bukan karena juga kuliah di perguruan tinggi teknik, tetapi keinginan memiliki waktu untuk, let say, sosialisasi (boys will be boys, aren't they?). Saya harus pilih salah satu demi kelancaran hidup sosial. Pilihan terasa berat karena kedua pilihan sama tidak menyenangkan, llmu akuntansi yang begitu membosankan dan ilmu teknik yang tidak diminati. Saat itu tahun 1995, Bapak Pembangunan kita sedang sehat-sehatnya. Program PELITA selalu mencanangkan industri sebagai titik tujuan. Kabinet pembangunan selalu berisikan pejabat-pejabat bergelar keilmuan teknik rekayasa atau militer. Hanya segelintir saja dari ilmu sosial. Bisa ditebak karir keilmuan apa yang saat itu tampak lebih menjanjikan. Mantap, saya tinggalkan kuliah akuntansi. Cerita makro berikutnya semua sudah tahu, ekonomi negeri kolaps seiring runtuhnya bidang industri, terutama industri bidang teknik rekayasa yang saya tuntut ilmunya. Bapak Pembangunan 'lengser', memilih 'mandito' membimbing anak-anaknya.

Tentang kesempatan, rasanya tidak sulit kalau hanya sekedar memanfaatkannya apabila ia telah sampai di depan mata. Masalah terbesarnya adalah bagaimana mengenali bahwa telah datang sang 'kesempatan' pada kita suatu waktu. Saya tahu pernah gagal mengenalinya karena sampai hari ini, mengapa saya turun dari mobil malam itu dan mengapa saya memilih ilmu teknik masih terasa sama getir.

Seorang tua dan bijak pernah bicara bahwa kesempatan besar bagi seseorang hanya datang dua atau tiga kali dalam hidup. Melalui dua pengalaman tadi, rasanya saya sudah lewatkan satu. Entah yang mana.

Kenapa juga sih mesti turun dari mobil ?!!!!!!

Dari semua tokoh yang diceritakan di atas, hanya saya dan Bapak Pembangunan yang ikut 'friendster'. Kurang tahu juga kalau si Bang Napi.

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Bener banget Bi... memilih itu bisa dilakukan kalo lo "ngeh" bahwa kesempatan itu ada, ga cuman kesempitan di celana doang.. hahaha...
ceritanya menarik

6:53 PM  
Blogger Ki Ageng Similikithi said...

ya kalau memang belum waktunya. kesempatan hilang begitu saja

2:38 PM  

Post a Comment

<< Home