Saturday, September 01, 2007

Tanda Terima


Almarhum kakek saya adalah orang terkenal di jamannya, minimal untuk kelas kecamatan. Paklik saya malah pernah bilang bahwa beliau tenar hingga tingkat kabupaten. Kakek saya terkenal sebagai orang tergalak (se-kabupaten menurut paklik saya tadi). Beliau seorang guru. Dedikasinya pada pekerjaan begitu jelas sehingga predikat yang mungkin negatif tadi tidak pernah dipedulikannya.

Jargon pendidikan beliau yang pernah saya dengar ketika kecil tidak neko-neko. Tidak se'nggaya' "we are not the first, but we are the best" atau "pendidikan manusia madani something". Jargon beliau sederhana tapi tegas; "tidak ada orang bodoh, yang ada hanya orang malas". Ini yang membuat beliau lebih memerangi kemalasan daripada kebodohan. Tongkat rotan menjadi salah satu alat perangnya yang legendaris.

Orang-orang paruh baya yang usianya berkisar 50-60'an di kota kecil tempat kakek tinggal, masih mengingat beliau sampai hari ini. Pernah satu kali beberapa tahun lewat ketika jalan-jalan naik andong di kota tersebut, sang kusir yang paruh baya dengan lancar menceritakan kisahnya tentang kakek saya. "Kalau bukan karena pak Tri, saya tidak pernah bisa matematika". Ketika kakek wafat, begitu banyak orang mengantar beliau ke pemakaman. Jalur Jogja - Semarang macet di dekat rumah keluarga kami kala itu.

Secara materi kakek saya hampir tidak mendapat apapun dari pengabdiannya. Penghidupan keluarga diperoleh dari pertanian dan peternakan yang dikerjakan anak-anaknya di luar waktu sekolah. Termasuk ayah saya.

Saya sendiri tidak pernah mengalami sedikit sentuhan beliau. Bukan karena tak sempat, tapi memang karena saya anak pintar di waktu kecil. Membaca, menulis, dan berhitung bisa saya pelajari sendiri tanpa perlu diajari orang lain secara khusus. Walaupun hari ini manfaatnya kurang terasa tanpa koneksi.

Andaikata kakek saya masih hidup hari ini, pasti beliau tak akan berhenti gundah 'grundelan' tentang pendidi'an endonesa. Jargon pendidikan orde baru tentang 'tenaga siap pakai' dulu, beliau kritik habis-habisan. "Manusia kok direken robot?!". (Walaupun kemudian ayah saya menjadi salah satu pionir pendidikan yang melulu menciptakan tenaga kerja siap pakai).

Perilaku pendidik, khususnya di kota besar juga kian memprihatinkan. Sudah tidak berbeda dengan oknum-oknum lain. Cinta uang tapi benci tanda terima. Kebutuhan hidup yang tak diimbangi remunerasi layak menjadi alasan. Bapak-bapak dan ibu pendidik (yang masih merasa) terhormat dan termulia, kalau mau hidup enak dan kaya jadilah bankir atau pengusaha buku di toko buku bukan di kelas. Kalau mau dianggap pintar, mulia lalu juga kaya, jadilah dokter. Mau dihormati sekaligus ditakuti, merasa mulia lalu juga kaya, jadilah polisi atau tentara berpangkat perwira. Jangan jadi guru.

Siswa-siswa belia bahkan kini sudah mencaci. "...engkau patriot pahlawan bangsa....tanpa tanda terima..."

Sekolah (makin) membodohi.

*gambar dari 'amazonnya Indonesia'

0 Comments:

Post a Comment

<< Home