Pohon
(untuk seorang adik sepupu dan diri saya sendiri)
Satu dua tahun lalu, di (apalagi kalau bukan) TV, sebuah acara talkshow impor, tayang dengan topik relasi antara public figure dengan orang tua mereka yang single parent. Salah seorang ibu dari artis berkulit hitam amerika ditanya mengenai perjuangannya sebagai single parent membesarkan artis tersebut. Kutipannya sangat menyentuh tapi tidak membuat saya larut malahan curiga script telah diatur sedemikian rupa oleh sutradara kelas opera sabun.
"Sejak kecil saya menyusun harapan dalam bola-bola kristal yang saya gantung satu demi satu pada pohon natal hidup saya. Saya tak pernah berhenti begitu antusias membayangkan saya tumbuh dewasa dan memandangi bola-bola itu bersinar terang satu demi satu sampai ke puncaknya. Sesuatu terjadi, saya tak tahu ada dimana. Saya hanya bisa memandangi bola-bola kristal itu jatuh dan pecah satu demi satu. Sampai akhirnya saya berpaling dan mendapati anak gadis saya tengah menyusun bola-bola kristal harapannya pada pohon natal kecilnya sendiri. Saat itu saya sadar bahwa hidup saya hanya untuk anak gadis saya, membantunya menggantungkan bola-bola kristal harapannya pada pohon natalnya sendiri."
Rasanya ibu artis tadi benar, waktu tanpa sadar menggeser kita untuk bersiap menjadi pohon besar yang diceritakan adik sepupu saya pada halaman persembahan buku skripsinya yang entah kenapa tersimpan di kamar tidur tamu. Saya mencuri baca untuk menunggu kantuk. Dari tebal skripsi tadi, hanya halaman persembahannya yang berkesan dan tetap saya ingat. Kita sudah mulai menjadi pohon itu ya dik?
(banyak bersyukur ya dik, saya belum habis heran mengapa dengan skripsi seperti itu kok kamu bisa lulus)
Satu dua tahun lalu, di (apalagi kalau bukan) TV, sebuah acara talkshow impor, tayang dengan topik relasi antara public figure dengan orang tua mereka yang single parent. Salah seorang ibu dari artis berkulit hitam amerika ditanya mengenai perjuangannya sebagai single parent membesarkan artis tersebut. Kutipannya sangat menyentuh tapi tidak membuat saya larut malahan curiga script telah diatur sedemikian rupa oleh sutradara kelas opera sabun.
"Sejak kecil saya menyusun harapan dalam bola-bola kristal yang saya gantung satu demi satu pada pohon natal hidup saya. Saya tak pernah berhenti begitu antusias membayangkan saya tumbuh dewasa dan memandangi bola-bola itu bersinar terang satu demi satu sampai ke puncaknya. Sesuatu terjadi, saya tak tahu ada dimana. Saya hanya bisa memandangi bola-bola kristal itu jatuh dan pecah satu demi satu. Sampai akhirnya saya berpaling dan mendapati anak gadis saya tengah menyusun bola-bola kristal harapannya pada pohon natal kecilnya sendiri. Saat itu saya sadar bahwa hidup saya hanya untuk anak gadis saya, membantunya menggantungkan bola-bola kristal harapannya pada pohon natalnya sendiri."
(lalu kamera menyorot penonton yang tampak terpukau berkaca-kaca mendengar pengandaian ibu artis tadi, tak lupa diiringi tepuk tangan meriah)
Rasanya ibu artis tadi benar, waktu tanpa sadar menggeser kita untuk bersiap menjadi pohon besar yang diceritakan adik sepupu saya pada halaman persembahan buku skripsinya yang entah kenapa tersimpan di kamar tidur tamu. Saya mencuri baca untuk menunggu kantuk. Dari tebal skripsi tadi, hanya halaman persembahannya yang berkesan dan tetap saya ingat. Kita sudah mulai menjadi pohon itu ya dik?
(banyak bersyukur ya dik, saya belum habis heran mengapa dengan skripsi seperti itu kok kamu bisa lulus)
*gambar diambil dan dirubah, tentunya tanpa ijin, dari sini
2 Comments:
(banyak bersyukur ya dik, saya belum habis heran mengapa dengan skripsi seperti itu kok kamu bisa lulus)
ah, sayah juga heran, kenapa harus pake skripsi buwat bisa lulus... *keluh..*
"Kita sudah mulai menjadi pohon itu ya dik?"
baru mulai tepatnya (sambil ga rela),kalo udah jadi pohon itu nanti blog-nya berhenti :)
Post a Comment
<< Home