Monday, June 22, 2009

Reality (also) Sucks


Belum lama malam ini, Sena anak sulung saya, pergi tidur. Sebelumnya ia bermain-main dengan saya sejak saya pulang ke rumah tadi sore. Permainannya yang terakhir adalah bermain dengan lampu senter, ia sorotkan ke langit-langit ruang tamu, digerakkannya ke kiri dan ke kanan, diamatinya pantulan lampu di langit-langit dengan mata berbinar, senyumnya lebar sekali. Ia sangat senang. Ia sangat menikmati kendalinya pada pantulan lampu senter di langit-langit.

Sambil mengamatinya, saya mengingat kembali bertahun lalu ketika saya bermain persis seperti Sena. Saat itu mungkin usia saya sekitar tujuh atau delapan tahun. Lampu senternya pun lebih besar, baterainya empat buah. Sorot lampunya demikian terang sehingga bisa membentuk lajur cahaya ke arah mana lampu senter ditujukan. Kala itu saya gemar menyorotkan lampu senter tersebut ke atas, bukan ke langit-langit tapi ke langit. Langit malam. Malam di Jakarta waktu itu belum abu-abu seperti malam-malam sekarang, malamnya masih hitam, masih kelam. Bintang masih terang bercahaya, belum suram dan redup oleh pantulan lampu kota di kabut polusi. Saya kecil yakin benar waktu itu, bila lampu senter diarahkan ke awan yang gelap bergerombol, tampak pantulannya di sana. Saya juga yakin cahaya lampu senter itu mampu menerangi sedikit bidang di tanah bulan bila diarahkan ke sana. Saya sangat menikmatinya. Saya bisa menyorotkan cahaya lampu senter tersebut kemanapun saya mau, semuanya bisa saya terangi. Termasuk awan dan bulan.

Barusan saya baca artikel kawan saya mengenai berkurangnya kemampuan kognisi manusia seiring bertambahnya usia. Menarik dan disadari bahwa disampaikan pula mengenai manusia yang semakin tua justru semakin menyelaraskan diri terhadap cara pandang orang-orang umumnya. Semakin kompromi. Semakin tidak kreatif dan imajinatif.

Saya lalu pergi ke luar ke halaman rumah. Saya bawa lampu senter yang tadi Sena mainkan. Saya amati langit malam. Langit malam Bandung sudah abu-abu. Ke arah timur laut, langit tampak lebih hitam. Bayangan segerombolan awan ada di sana. Lampu senter saya sorotkan ke arah gerombol awan tadi. Saya tidak melihat dan tidak mampu membayangkan sorot lampu senter tadi sampai ke sana, ke awan-awan. Saya gerakkan ke kiri dan ke kanan, tetap saja tidak nampak tanda-tanda pantulannya di sana. Terkadang saya lempar sorotnya ke dedaunan, atap rumah tetangga, kabel-kabel listrik dan telepon untuk memastikan lampunya masih menyala. Sayangnya lagi, bulan entah dimana malam ini.

Menyorotkan lampu senter ke langit malam masih menyenangkan, tapi pantulannya di awan dan bulan tidak bisa lagi saya lihat dan bayangkan. Mungkin lampu senternya terlalu lemah, baterainya saja cuma dua.

Imajinasi saya pasti sudah lama mati.