Wednesday, March 28, 2007

Menurut Perusahaan Asuransi; Angkot Memperpendek Usia

All our knowledge merely helps us to die a more painful death than animals that know nothing. ~Maurice Maeterlinck

Setelah hadirnya anak saya yang ke dua, saya merasa sudah waktunya kembali memiliki sebuah polis asuransi jiwa. Mengapa saya merasa harus memilikinya adalah karena kesadaran akan belum bisa mewariskan apapun kecuali potongan ganteng dan cantik kepada anak-anak. Belum lagi kerja wira-wiriswasta dengan Harley da Win 98,7cc yang mengarungi rute mulai dari Dago hingga Kopo Sayati di Bandung mengandung resiko yang cukup tinggi.


Bukan tidak mungkin (bahkan sangat mungkin) sewaktu-waktu bisa saja saya mendadak mati. Kalau sudah begini siapa yang mau tanggung anak-anak? Tentu saja ada istri saya tapinya mosok sebagai suami, mati tanpa mewariskan apapun. Belum lagi walaupun cantik, istri saya kelihatannya bukan potongan yang digemari para 'Aa' yang baik hati apabila menjanda.

Kembali ke laptop eh... asuransi, kegiatan mencari asuransi ke-dua ini kembali melibatkan investigasi produk yang cukup teliti dan akan lebih teliti lagi apabila sales agent nya muda dan cantik. Hal yang sudah jelas pun harus ditanya berulang-ulang supaya meeting berjalan lebih lama dan mudah-mudahan bisa lebih akrab yang lalu bisa... Hush!! cukup!!

Kembali ke asuransi, ternyata seperti beberapa tahun lalu, produk asuransi masih sama. Perilaku sales(wo)manship juga masih sama. Entah kenapa para pemasar asuransi ngebet banget memasarkan produk asuransi berinvestasi. Berulangkali saya minta yang tradisional kok ya tetap menawarkan yang investasi, malah sampai ada yang nekat mengatakan perusahaannya sudah tidak lagi memiliki produk asuransi jiwa tradisional. Mbel!

Anceran saya tidak ingin memiliki dua polis di perusahaan yang sama, jadi saya memang mencari di luar perusahaan asuransi yang saya beli polisnya tiga tahun lalu. Tiga tahun lalu saya membeli polis jiwa di sebuah perusahaan asuransi nasional. Untuk pertanggungan 100 juta rupiah, saya harus membayar 1,3 juta rupiah pertahun selama 15 tahun. Dijamin hingga usia 75 tahun atau bila masih hidup di usia tersebut, akan dibayarkan kembali ditambah 'buah'. (100 juta rupiah++ di tahun 2050'an bisa buat beli apa ya? jangan-jangan Endonesah saja sudah nggak ada)

Akhirnya saya menemukan sebuah perusahaan asuransi internasional yang masih menawarkan asuransi jiwa tradisional. Cek dulu di internet apa benar internasional, atau cuma nasional yang sok internasional dengan menyewa alamat gudang tua di luar negeri, seperti kasus oli terkenal untuk kendaraan belum lunas kredit dengan motto iklan; "oli anda utang juga kan?"

Ternyata benar internasional dengan cabang-cabang di luar negeri dan bahasa inggris yang baik dan benar di websitenya. (Ingat kasus iklan 'Terima Kasih' milik AdamAir dalam bahasa inggris yang sangat baik dan benar ngawurnya? tidak heran mengapa perusahaan ini menjadi sangat ahli merekayasa kapal terbang jadi kapal selam atau kapal api)

Penawarannya pun lebih menarik. Pertanggungan 132 juta rupiah dibayar dengan premi sebesar 1,5 juta rupiah dalam waktu 10 tahun, pertanggungan hingga umur 88 tahun. Lebih murah. Hanya saja sales agent menampakkan wajah kurang sedap ketika tahu berat badan saya 40kg lebih berat dari berat ideal. Alhasil tes medikal lengkap menjadi syarat. Yang sangat-sangat-sangat menyenangkan tes medikal tersebut GRATIS!! (hasilnya buat kita juga) duh... kapan ya terakhir saya dengar kata itu. Wong di Bandung sini mau belok aja mbayar!

Dengan yakin saya siap menjalani tes medikal, walaupun sedikit overweight, saya tidak merokok, tidak minum alkohol, menghindari MSG, minum teh sehari tiga kali, dan minum air putih mungkin mencapai 4 liter sehari. Yang payah, sebelum tes medikal, harus puasa minimal 10 jam sebaiknya 12 jam. Dengan acara pemeriksaan jam 7 pagi, berarti saya harus puasa dari jam 7 malam. Malam itu pedagang sate keliling yang bakarannya jarang matang mendadak terbayang nikmat, mie tektek keliling yang hanya berasa MSG kok tiba-tiba jadi ngangeni, ronde keliling yang over jahe terdengar merdu panggilan denting sendoknya. Malam itu saya sulit tidur karena merasa kelaparan.

Paginya saya bangun telat, itupun karena telepon sang sales agent yang sudah duluan sampai di laboratorium periksa. Alhasil panik dan buru-buru berangkat naik Harley da Win. Di jalan, angkutan kota pun menggila berebut penumpang tanpa memikirkan pemakai jalan lain, mungkin karena saat itu jam berangkat murid sekolah. Entah berapa pisuhan pagi itu yang saya curahkan.

Semua tes dari EKG, tes fisik, air seni dan darah berjalan lancar kecuali tes tensi darah. Hasilnya aneh, saya yang biasa hanya bertensi 120an/90an terdeteksi 146/104 atau hipertensi. Weleh! "Kurang tidur semalam pak? atau kesini naik motor?" tanya si mbak yang periksa. "iya mbak, ditambah marah-marah sama angkot barusan" jawab saya. "Rileks dulu saja kalau gitu pak", saran mbak tensimeter. Setelah rileks sambil membayangkan yang nikmat-nikmat seperti makan iga bakar atau jalan-jalan malam melihat cahaya Bandung dari Lembang ditemani Olga Lydia, tensi saya bisa turun sampai 134/98. Tetap di batas tinggi. Mungkin jalan-jalan ke Lembang bagusnya ditemani Gogon Srimulat saja.

Beberapa hari kemudian sang sales agent mengabarkan approval pengajuan, hanya saja ada syarat tambahan premi akibat hasil tes medikal yang kurang memuaskan yaitu; overweight dan hipertensi! bah! Tambahannya ternyata hanya sebesar 200 ribu rupiah saja, alias total 1,7 juta rupiah. OK lah, sudah kadung sok akrab sama sang sales agent dan tidak enak sama Olga Lydia yang sudah menyempatkan menemani jalan-jalan khayalan, lagian sudah dapat tes medikal gratis yang apabila bayar minimal kena 600 ribu rupiah.

Beberapa hari lagi kemudian, ketika bertemu dengan sales agent untuk serah terima polis, ia memberikan penawaran yang sangat membuat gondok. Ia menawarkan asuransi jiwa pertanggungan sebesar 100 juta rupiah dengan premi hanya 300 ribu rupiah per tahun. Kekurangannya hanya pada kontrak terbatas dan premi yang hangus seperti asuransi mobil. Lah! tau gitu kemarin kan ambil yang itu! Dengan penghasilan kelas kirik dan sudah memiliki 1 polis asuransi jiwa sebelumnya, produk tadi lebih menguntungkan buat saya.

"Lho bapak nggak tanya sih!" kata si agent. "Untuk karyawan bapak saja" katanya lagi, agar bisa terbebas dari resiko membayarkan santunan apabila karyawan kita meninggal dunia. Malah bisa diatur pembayaran santunannya untuk sebagian diambil perusahaan yang memperkerjakan karyawan tersebut. Legal selama pembayaran preminya tidak memotong gaji karyawan.

Hmmm... kira-kira bikin usaha apa ya yang karyawannya besar resiko meninggal? Saran kawan saya, buat saja peternakan unggas yang tidak divaksin flu burung, pekerjanya jangan diberi masker, dan lokasi peternakannya tepat di jalur wedhus gembel Gunung Merapi.

Ide bagus kan di jaman sulit bisnis begini?

Sunday, March 18, 2007

Pabu!!

(18 Maret 2007, 17.50 wib berangkat dari kawasan Setiabudi)

Jelas sudah kenapa Endonesa ini rakwalitet, ralucu, ramutu, ramaju, plus katro en culun bonus ndeso.

Amati saja penduduk megapolitan Jakarta yang konon jadi barometer kemajuan.
Beri 1 kalimat in engles "long wik-en" jawabannya pasti rakreatif, raonoide, ramaju, ralucu, ramutu, plus katro en culun bonus ndeso yaitu "BANDUNG!".

Kijang Innova, Xenia, Avanza, Honda Jazz dan paling berani beda juga cuma Suzuki APV atau Panther dengan plat 'B' segera memenuhi jalan-jalan sempit, searah, rusak, bolong-bolong, banjir, tanpa petunjuk, ramutu, plus katro en culun bonus ndeso di Bandung.

Macet!!!

"Segini sih biasa di Jakarta", kata pengemudi gundul elek dari balik kemudi Innova plat 'B' yang kebetulan berpapasan macet. Tanpa rasa bersalah pula sambil cengengesan layaknya germo dapat pelanggan. Semprul!!

Simpan saja kebiasaan rakwalitet, ralucu, ramutu, ramaju, plus katro en culun bonus ndeso itu di Jakarta. Jangan dibawa ke Bandung, kami ndak doyan!


Mbok ya ide liburan itu sedikit lebih cerdas. Ojo rakreatif, raonoide, ramaju, ralucu, ramutu, plus katro en culun bonus ndeso.


(masih 18 Maret 2007, 20.45 wib baru tiba di kawasan Dago. +/- 6 km saja dari Setiabudi)

Pabu pemat!! Jakarta Mbelgedhes!!

Saturday, March 03, 2007

Lapangan Parkir

Di luar sana dunia boleh kacau, tapi tidak di lapangan parkir depan pintu masuk garasi rumah saya. Aturannya jelas. Dilarang parkir di depan garasi!

Mulai dari supir angkutan bahan bangunan, supir artis terkenal, anggota band pengiring artis terkenal tadi, mahasiswa, pensiunan direksi perusahaan minyak asing dan tentunya tamu para tetangga pernah mengalami penegakan aturan tadi. Dari cara paling kasar sampai yang terhalus. Terhalus tentunya dialami oleh seorang perwira TNI berseragam lengkap. Tapi intinya, aturan ditegakkan.

Selain aturan parkir depan garasi, ada aturan lain yang saya ciptakan dan terapkan untuk lapangan parkir secara umum. Paling utama dilarang berisik. Paling sering menjadi target penegakan aturan adalah anak-anak dari kampung sekitar yang kekurangan lahan bermain. Mulai dari yang masih ingusan hingga yang berseragam SMU bahkan yang terlihat tua tapi masih bermain layangan. Semua saya usir. Seringnya masih saya tolerir kebisingannya mengingat mereka memang butuh lahan bermain, namun bila kemudian 'bahasa kalbu' mereka mulai muncul, misalnya untuk sekedar berpesan; "jangan jegal gua!" ketika bermain bola, akan terdengar; "...anjing lu ngejegal gua lu goblog! gua tendang lu anjing!..." dengan volume suara sekuat tenaga. Saya akan segera muncul di pintu garasi lalu berteriak keras, "...bubar!...bubar!... ada yang sakit! berisik!"

Tidak akan lama sampai akhirnya lapangan parkir kembali sepi dan hening. Satu-dua waktu ada anak yang mungkin terimbas semangat reformasi dan demokrasi sehingga sedikit mendebat, misalnya; "...emang lapangan punya situ?!". "Emang punya siapa? bapak kamu?! saya telpon polisi kalau tidak mau bubar!", tukas saya dan biasanya tidak pernah terdengar kalimat debat berikutnya.

Mereka akan selalu kembali muncul. Biasanya 10-15 menit di awal permainan, mereka akan tertib tidak terlalu berisik. Mungkin sadar resiko. Seiring emosi permainan yang meningkat, apapun itu, mulai dari kucing-kucingan, sepakbola hingga layangan, saling teriak akan terjadi. Begitu kalimat-kalimat 'sampah' terdengar, biasanya teriakan saya akan menjadi teriakan terakhir yang terdengar di lapangan parkir.

Suatu sore, ada teriakan-teriakan aneh di lapangan parkir yang terdengar sampai ke dalam rumah. Saya masih acuhkan hingga akhirnya membangunkan anak saya yang sedang tidur siang. Sedikit kesal saya muncul di pintu garasi. Ternyata sekelompok anak berseragam SMP sedang 'shooting'. Ada yang berperan sebagai aktor-aktrisnya, ada kameramennya, ada yang memegang scriptboardnya, dan tentunya ada yang menjadi sutradara yang teriakannya terdengar tadi. Entah apa ceritanya tapi teriakannya terdengar serius. Ada "action!" lalu "rol!" lalu "cut!" lalu entah kode teriak apa lagi. Kameranya juga terlihat 'beneran'.

Walaupun keberisikannya jauh lebih keras terdengar, saya putuskan untuk tidak membubarkan shooting tanpa ijin ini. Saya masuk dan menutup pintu garasi sambil berharap mudah-mudahan sang sutradara SMP bisa berkembang menjadi pembuat film Endonesa bermutu, tidak seperti Richard Buntario itu yang membuat saya bersumpah tidak akan lagi nonton film Endonesa di bioskop (semoga Tuhan mengampuni karya-karyanya dan menghukum mereka yang masih mendorongnya membuat film) atau minimal bisa membuat 'Bocah Ingusan' dengan sentuhan lebih.

Herannya walau terdengar berulang-ulang teriakan "action!" atau "cut!" tadi, anak saya yang umurnya belum genap 4 tahun, tidak menirukannya. Namun begitu pelayangan atau pesepakbola ingusan amatiran muncul dengan teriakan-teriakan khasnya, ia akan segera meniru.

"...goblog siah!"
"...anjing siah!"

dan padu-padannya

"...goblog siah anjing!"

lalu padu-padan dibaliknya

"...anjing siah goblog!"