Wednesday, November 21, 2012

Ke Jepang

Kali kecil di tengah keramaian kota Kyoto
Berawal dari rencana 'gambling' di akhir tahun sebelumnya, ketika sebuah penerbangan mengobral tiket-tiket murah yang non-refundable alias uang hangus apabila batal. Alhamdulillah diberi kelancaran dan juga rejeki kumpul-kumpul bekal sehingga mencukupi untuk sebuah very-very tight budget travelling 'ngangon' anak-anak liburan ke negeri Sakura, Jepang. Keputusan 'gambling' beli tiket itu ternyata berbuah pengalaman yang luar biasa. Walau cuma delapan hari, berkunjung ke negeri yang maju lahir-batin ternyata memberikan tidak hanya pengalaman visual, tapi juga pengalaman bagi batin yang berlimpah.

Kesan positif pertama sudah dimulai dari semenjak mengakses website kedutaan Jepang untuk informasi pengajuan visa. Informasi sangat jelas, form-form 'downloadable' tersedia lengkap dengan petunjuk pengisian termasuk persyaratan pelengkap. Persyaratan pelengkap yang diminta juga sesuai kepentingannya, tidak mempersulit serta tidak mengada-ada. Datang mengurus visa ke kedutaan besar Jepang juga memberikan kesan positif. Mungkin beberapa dari kita yang gemar 'mengurus sendiri' berbagai hal administratif atau birokratif, seringkali menyimpan kedongkolan-kekesalan pada sistem percaloan yang larut lekat pada proses administrasi publik di negeri kita. Bayangkan kita yang sudah antri berjam-jam tiba-tiba didahului oleh calo-calo. Silakan sebut; urus KTP, urus SIM, urus paspor, urus STNK, dll. mungkin hanya 'urus-urus' yang bisa kita lakukan sendiri dengan mudah tanpa diganggu calo. Di kedutaan besar Jepang, loket pengurusan visa langsung terbagi dua; satu yang diperuntukkan bagi yang mengurus sendiri dan bagian lain yang diperuntukkan untuk kolektif (oleh 'calo' dari biro wisata dll), sehingga kita yang datang mengurus sendiri tidak akan merasa terganggu. Proses pengajuan hingga keluarnya visa pun tepat waktu selama persyaratan dipenuhi.

Perjalanan 'self guided' tentunya akan menggantungkan kelancaran perjalanan pada kematangan rencana kita sendiri. Karena yang saya baca bahwa bahasa Inggris sangat jarang dikuasai oleh penduduk Jepang, mau tidak mau saya harus mempelajari sedikit bahasa Jepang untuk membantu kelancaran perjalanan. Disini awal ketertarikan sudah dimulai. Bahasa Jepang sendiri ternyata adalah satu dari sedikit saja bahasa di dunia yang berkaedah S-O-P dalam kalimatnya. Semisal kita biasa mengucap "saya makan tempe" dalam kaedah S-P-O, maka dalam kalimat bahasa Jepang ia menjadi "saya tempe makan". Saya segera membayangkan bahwa bangsa Jepang seharusnya adalah bangsa pendengar yang baik, karena 'P'redikat-lah 'kabar' utama sebuah kalimat. Bayangan panjang saya berikutnya adalah kebiasaan berbahasa seperti ini seharusnya bermuara pada kebudayaan yang 'paripurna'; selalu selesai. Dan kemudian bayangan saya tersebut ternyata tepat.

Bagi saya pribadi dan rasanya juga bagi anggota keluarga yang ikut, perjalanan ke Jepang menjadi sebuah wisata 'Peradaban'. Sightseeing dan kuliner hanya menjadi bonus pelengkap. Begitu istimewanya sehingga anak-anak kami yang masih berumur 7 dan 9 tahun cepat menangkap 'selisih' peradaban di Jepang dengan di negerinya. Masalah kebersihan atau kedisiplinan antri 'sih' tidak perlu dibahas lagi; tidak lagi istimewa, tapi berbagai hal lain lah yang akan saya coba ceritakan.

Memasuki antrian imigrasi setelah mendarat di bandara 'Kansai', saya langsung merasakan efisiensi sistem. Pada antrian yang dikelok-kelokkan karena panjangnya, ada petugas-petugas yang 'berkeliaran' menyusuri antrian memeriksa kelengkapan. Kalau saya amati, mereka yang datang sebagai turis dan sudah mengisi kartu kedatangan dengan lengkap, segera ditarik keluar dari antrian dan didahulukan ke loket-loket imigrasi. Kami sendiri mengalami, ketika petugas 'penyusur' tadi mendekat, saya sapa duluan "we are family, tourist" sambil saya sodorkan paspor-paspor kami beserta kartu imigrasi. Dia periksa semua paspor dan kartu imigrasi yang memang sudah saya isi lengkap serta teliti, kemudian dia buka tali jalur antrian dan menyilakan kami langsung ke meja loket imigrasi. Lumayan,  mendahului kira-kira 10 meter antrian. Kebanyakan pengantri masih belum mengisi kartu imigrasi dengan teliti, utamanya karena kartu tersebut harus diisi bolak-balik. Banyak yang hanya mengisi di satu muka saja atau tidak melengkapi alamat tinggal di Jepang. Total waktu mengantri hingga selesai proses imigrasi bagi kami tidak lebih dari 15 menit dengan antrian yang sedemikian panjang.

Integritas profesi luar biasa. Ketika kami hendak naik kereta api dari airport ke kota, kereta yang sudah datang dari perjalanan sebelumnya tidak boleh langsung dinaiki. Dibersihkan dan arah kursi-kursi dibalik menghadap arah perjalanan. Prosesnya efisien, kira-kira 10 menit. Selama 10 menit itu, ada seorang berseragam dengan topi khas mengarahkan posisi antrian satu demi satu di depan tiap pintu masuk gerbong. Tidak boleh bergerombol mungkin katanya, melainkan harus selajur dan bila perlu berbelok. Saya pikir dia semacam security stasiun atau staf stasiun, ternyata kemudian, orang tersebut adalah kondektur yang memeriksa karcis penumpang. Menariknya, ketika kondektur itu masuk ke gerbong untuk memeriksa karcis setelah kereta melaju, tindakan pertamanya adalah membuka topi, lalu membungkuk memberi hormat sambil berbicara sesuatu dalam bahasa Jepang. Kelihatannya memperkenalkan diri, tujuan kereta dan dimana saja nanti kereta akan mampir. Disini anak-anak saya sudah heran melihat tata cara kerja kondektur itu. Cara bekerjanya pun santai tapi pasti, setiap kursi ditegur dulu dalam bahasa Jepang, mengobrol singkat sambil mengecek karcis sekaligus membolongi seperti halnya di sini. Ketika sampai di kursi kami, kondektur tetap membuka percakapan dengan bahasa Jepang. Seperti yang sudah saya hapalkan sebelumnya dalam bahasa Jepang, saya katakan bahwa saya tidak bisa bahasa Jepang. Segera dibalasnya dalam bahasa Inggris, "darimana?" lalu "mau kemana?". Setelah saya jawab, berikutnya kondektur itu hanya mengatakan "have a nice time in Japan" dan berlalu tanpa memeriksa karcis kami. Saya amati, semua penumpang asing yang tidak bisa berbahasa Jepang karcisnya tidak diperiksa, hanya diajak ngobrol ramah dalam bahasa Inggris. Sebelum meninggalkan gerbong ke gerbong lain, kembali kondektur itu berdiri di bagian muka dan sebagaimana awal ketika masuk, ia membuka topi, membungkuk dan mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Jepang baru kemudian berlalu ke gerbong berikutnya. Keheranan kami berlanjut ketika akan meninggalkan peron. Di gate tempat mengembalikan karcis ada dua orang yang masing-masing berdiri di ujung jejeran gerbang itu yang terus menerus membungkuk mengucapkan terima kasih kepada semua, ya semua, penumpang yang meninggalkan peron. Tidak membungkuk penuh seperti posisi rukuk, tapi cukup membentuk sudut di pinggang, tidak hanya sekedar menundukkan kepala. Saya hanya penasaran, koyo tempel untuk 'boyok'nya mereka pakai merk apa. Kalau kemudian kami pikir hal seperti itu hanya ada di stasiun kereta antar kota, ternyata tiap gerbang keluar subway di dalam kota pun, ada petugas yang berfungsi membungkuk mengucapkan terima kasih. Kalau penumpang lokal mungkin sudah biasa mengacuhkan, anak-anak kami senang untuk selalu membalas ucapan "arigato" sambil melambaikan tangan kepada para petugas itu.

Kebetulan lagi di kota Kyoto, kami mengalami dan melihat 'prosesi' kecil pergantian 'shift' pengemudi bis kota. Mulanya agak aneh, mengapa bis menepi tidak di sebuah penghentian sebagaimana biasa. Kemudian supir berdiri, menghadap penumpang, melepas topi lalu berbicara beberapa kalimat, membungkuk ke arah penumpang lalu mengambil semacam plang yang saya duga bertuliskan nama pengemudi itu yang tadinya disematkan di bagian atas pintu keluar di depan, kemudian turun. Di luar sudah menunggu pengemudi lain dan lalu mereka saling membungkuk, saling berbicara agak santai dan bertukar semacam map kecil. Pengemudi baru yang kemudian masuk ke dalam bis, kembali membuka topi, membungkuk ke arah penumpang dan berbicara beberapa kalimat kemudian memasang plang nama di tempatnya. Kemudian bis kembali berjalan.

Banyak hal lain yang menjadi pengalaman menarik bagi kami dari segi interaksi dengan masyarakat setempat. Sekali waktu ketika kami harus berpindah kereta untuk sampai tujuan ke kota kecil di luar Kyoto, saya bertanya pada seorang ibu apakah pemberhentian berikutnya adalah tempat kami turun berganti kereta. Ibu itu mengiyakan sambil menjelaskan sesuatu dalam bahasa Jepang yang tentu saya tidak mengerti. Saya hanya 'bengong' mengamati wajahnya. Rupanya ia menangkap kebengongan saya lalu kemudian ketika kereta berhenti di stasiun berikutnya yang tadi saya tanyakan, ia pun turun sembari mengajak kami. Ia berjalan di depan menuntun kami berpindah peron. Dalam bahasa Jepang bercampur bahasa tubuh, saya mengerti bahwa ibu itu memberitahukan bahwa kami harus menunggu di peron ini untuk kereta ke arah tujuan akhir. Setelah saya ucapkan terima kasih dan saling membungkuk, ibu itu kembali ke peron semula dimana kami sebelumnya turun. Rupanya ia kembali akan naik kereta ke arah yang semula kami naiki, tentu kereta yang semula kami naiki tadi sudah pergi. Rupanya ibu tadi dengan baik hati mau turun untuk kemudian naik lagi kereta berikutnya hanya untuk menunjukkan peron, memastikan kami tidak salah naik. Kaget juga sampai sebegitu baiknya. Walaupun memang sebetulnya kereta lokal datang kira-kira 5 menit sekali, ibu tadi hanya akan kehilangan waktu sekitar 5 menit.

Pengalaman menarik lain terjadi karena setiap kami masuk tempat makan, saya selalu menghampiri kasir atau counter pelayan untuk menanyakan apakah di tempat itu menyajikan daging babi, karena kami tidak makan daging babi. Kalau di kota besar Osaka dan Kyoto, terutama di daerah turis, tampaknya mereka sudah terbiasa sehingga langsung paham dan menunjukkan mana-mana dalam menu yang tidak mengandung babi.
Karena rencana perjalanan kami memang keluyuran ingin melihat kehidupan lokal, sampailah kami di sebuah kota kecil lain di pinggiran Kyoto. Kami mampir ke sebuah toko roti dan donat. Di dalam, saya melihat sebuah roti berisi sosis yang tampak enak betul. Kembali saya menanyakan jenis daging yang digunakan. Hasilnya heboh! Mungkin karena pelayan tidak paham, ia tanya ke dapur. Dapur juga tampaknya tidak tahu pasti. Lalu tanya lagi ke semacam manajer yang juga tidak bisa memastikan yang lalu masuk lagi ke dalam, entah menelepon atau melihat daftar barang. Cukup makan waktu beberapa menit. Sementara di counter waktu itu sudah berkumpul beberapa pelayan dan juru masak. Ramai. Sayangnya saya tidak belajar untuk berkata "sudah tidak jadi saja". Bilang "dont mind" juga tidak ada yang mengerti. Baru kemudian si manajer tadi muncul lagi dan berkata girang "gyuniku des!" katanya yang artinya daging sapi. Semua tampak senang. Tinggal saya yang semula hanya ingin cicip satu buah, jadi tidak enak hati cuma mau beli satu setelah merepotkan sekian banyak orang. Akhirnya saya terpaksa beli tiga roti sosis. Enak juga, tapi mahal bila di-kurs.

Budaya paripurna Jepang terasa sampai hal-hal kecil. Paling mudah dilihat pada lintasan-lintasan pejalan kaki. Trotoar selalu diberi pinggiran/border. Jalan raya aspal selalu ada pinggiran sebelum bertemu trotoar. Istilah desainnya, selalu ada peralihan ketika dua entitas bertemu, tidak ada yang sekenanya ditabrakkan. Bangunan selalu berdiri dengan ritme "kaki-badan-kepala" dengan proporsi yang enak dilihat, bahkan sampai bangunan-bangunan kecil di pinggiran kota, baik itu rumah, gedung, los pasar, gapura bahkan jembatan. Untuk yang paham dan dapat mengapresiasi desain, mata akan sangat dimanjakan melihat lingkung-lingkung binaan di berbagai sudut dengan berbagai fungsinya.

Berkunjung ke Jepang memberikan pengalaman yang sangat mengesankan. Betul-betul lahir batin. Jauh kualitas peradabannya dibandingkan dengan Singapura misalnya. Terasa betul kalau modernitas Singapura sama sekali tidak bernyawa/'soulless'. Tetapi terus terang saya menyesal juga datang ke Jepang, -macam 'gombalan' orang tua 'katrok' tentang pernikahan-, andai saja bisa dilakukan dari dulu-dulu, 10-15 tahun yang lalu-lah, tentu bisa memberi pemahaman dan motivasi lain bagi diri sendiri. Tapi juga sangat puas bisa bawa anak-anak berkunjung ke sana ketika mereka kecil tapi sudah cukup mengerti. Tampaknya pengalaman ini bagi mereka cukup tertanam. Semisal ketika kami terpana pada situasi sungai di tengah keramaian kota Kyoto yang jernih dengan aneka ikan dilengkapi sejenis burung bangau yang hilir mudik mencari mangsa, spontan mereka berkomentar dan paham bagaimana ini bisa terjadi. "Di Bandung pasti ikannya sudah ditangkapi ya? Burungnya pasti sudah ditembaki lalu dimakan. Tidak mungkin ikan bisa hidup di sungai penuh sampah". Si bungsu pun kalau sekarang ditanya cita-citanya, "...mau sekolah dokter di Jepang sambil 'nyambi' jadi guru TK".

Sebetulnya masih banyak sekali yang bisa diceritakan tentang kunjungan 'free & easy' kami kemarin di Jepang. Entah berapa banyak tulisan yang bisa dibuat mengenainya. Mudah-mudahan lain waktu saya bisa sambung dengan cerita tentang hal lain pengalaman kami di sana, termasuk bahwa dalam pengamatan saya,  sebetulnya masyarakat Jepang juga punya beberapa kelemahan dibanding masyarakat kita. ...Ciyus!? Miyapa?!

Labels: