Monday, June 18, 2007

UNas = Undian Nasib

"Pendidikan Indonesia" sebagai judul sistem pendid'an di Endonesa kembali memuntahkan korban. Ketika yang 92,5% belum tentu memetik manfaat, yang 7,5% jelas menelan mudarat. Atas nama apa? benchmarking? standar kualitas? semuanya terlalu semu. Terlalu utopis berhadiah malapetaka.

Paling mudah meruntuki, pernahkah sistem pendidi'an itu mempersiapkan peserta didi'nya menelan kegagalan? statistik ketidak-lulusan yang hampir 1:12 seharusnya telah menyediakan jalan keluar. OK ada paket C. OK ada kesempatan mengulang. Lalu bagaimana dengan kepercayaan diri dan kebanggaan yang terlanjur runtuh? apa sistem pendidi'an itu punya jalan keluar atau obat?

Ketika banyak tuntutan akan pemerataan kesempatan pendidi'an di Endonesa atas nama biaya, mengapa kesempatan memperoleh kebanggaan dan kepercayaan diri melalui pendidikan sudah lebih dulu dikebiri? Toh tidak semua peserta didik di pendidi'an Endonesa itu akan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Cukup banyak peserta didik tersebut yang tidak berharap banyak selulus SMU, atau malah cukup SMP. Pengharapan sekecil itu saja sudah harus dijegal dan dirampas.

Satu yang mengkhawatirkan adalah lebih tingginya angka kegagalan di Endonesa timur yang jelas-jelas fasilitas dan kualitas pengajarannya jauh tertinggal. Sistem pendidi'an ini secara tak sadar menyemai benih ketidak-percayaan, memupuk rasa perbedaan, dan menumbuhkan perpecahan. Terlalu jauh? Tidak juga. Kita akan lihat perkembangannya kelak.

Sebuah hal yang sangat lucu ketika sebuah sistem pendidi'an yang hanya mengejar skala kuantitatif tapi tidak menanamkan nilai integritas sama sekali. Birokrat pendidi'an itu begitu naif dan bodoh apabila berharap mereka yang gagal akan 'nrimo' atau 'legowo'. Banyak yang sudah terlalu banyak berkorban untuk kemudian tidak mampu sama sekali berpikir "...mungkin saya memang belum layak...", sehingga kemudian amat sangat layak dan dimengerti mengapa mereka bereaksi seperti ini.

Antagonis betul sistem pendidi'an Endonesa ini. Bagaikan makhluk buas tanpa rasa maupun penghargaan terhadap bertahun belajar bermacam ajaran untuk kemudian di-skalakan dengan hanya 3 macam ajaran belaka. Belum lagi naifnya penyetaraan standar kualitas, sementara kemampuan penyampaian dan fasilitas pendidikan yang berbeda antara satu dan lain daerah.

Berat rasanya bangsa ini bisa maju dengan baik apabila 7,5% di antara anak bangsa adalah mereka yang melangkah tanpa rasa percaya diri, sementara 92,5% lainnya belum tentu tahu manfaat apa yang mereka peroleh lewat pendidi'an itu. Sementara itu, proses buas ini malah akan dilakukan lebih dini.

Walau berat disampaikan, mengapa tidak meniru sistem pendidikan barat yang hanya mensyaratkan skala kuantitatif bagi pendidikan dasar apabila peserta didiknya akan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tidak ada jiwa yang tergerogoti kepercayaan dirinya.

Sekolah membodohi!

Wednesday, June 13, 2007

Jendela Dunia Semprul

Kalau mata jendela hati, konon televisi jendela dunia.

Entah dunia macam apa yang ada di benak pemirsa Endonesa. Malam ini, sambil planga-plongo kekurangan proyek, mata terpaku ke satu stasiun TV swasta yang memutar film lokal pemenang festival film ter-bergengsi di Endonesa. Film yang heboh itu, yang konon penata musiknya kebetulan bisa menciptakan musik yang mirip-mirip dengan film 'Gladiator'. Salahnya film 'Gladiator' tadi, wong mottonya "...What we do in life echoes in eternity..." jadi musiknya juga pasti terngiang-ngiang 'echoes' di kepala penata musik film lokal tadi.

Oh my God! Film ini memang rusak dan lupa diri dari awal. Boro-boro mencari dan ketemu bagian musik mana yang meniru film "Gladiator", nonton adegan-adegannya saja sudah tertawa-tawa melihat kreativitas ingin beda yang hasilnya ingin ngawur. Benang merah ke'semprul'an film Endonesa semenjak film maha semprul "5 Sehat 4 Sempurna" itu makin jelas. Ternyata film-film semprul Endonesa baru hampir semuanya gagal untuk jujur. Gagal untuk membuat penontonnya percaya melarutkan diri menikmati film. Contohnya ya tadi, film yang seharusnya mencekam malah mencekikikan, film maha semprul yang harusnya mencekikikan malah membangkitkan amarah bila ingat harga tiket bioskop yang dibeli.

Yang lebih seru nonton TV swasta tadi malam ini adalah ketika diselingi iklan ticker acara kuis yang berisi kuis interaktif pemirsa. Pemirsa bisa ikut mengais kesempatan dengan menjawab pertanyaan melalui SMS.

Pertanyaannya :
Pantai Kuta terletak di kota : A.Yogyakarta B.Bali C.Medan.

Jan tombo ngantuk! Yang pintar pasti pilih B. tapi yang masuk angin akan marah-marah, karena Bali belum pernah menjadi nama kota.

Saya sendiri sambil ngantuk pilih A. soalnya memang kangen ingin ke Yogya. Kangen sate Karang dan gudeg yu Djum.

Selamat menikmati dunia melalui jendela televisi.

update: ticker kuisnya sudah diganti pertanyaannya menjadi: P
antai Kuta terletak di... :
Jadi makin aneh - pilihan yang tidak setara. Seperti bertanya : "...mending pergi naik apa ya, naik angkot atau tidur?..."
Sudah salah, ralatnya juga makin membodohi.

Thursday, June 07, 2007

Modernisasi Tidak Romantis (antara Bandung dan Jakarta)

"Modernisasi tidak pernah romantis" - menurut seorang seniman eropa yang komentarnya dikutip sebuah majalah saku bertahun-tahun lalu.

Baru terpahami benar maknanya malam ini. Lewat sebuah pelem endonesah yang (niatnya) berbeda tetapi
lagi-lagi basi dan tidak jelas maunya. Ada satu detail yang menangkap perhatian yaitu perjalanan dengan kereta api antara Bandung ke Jakarta. Kesan yang timbul luar biasa. Mengingatkan tiga tahun lebih dari perjalanan terakhir dengan kereta api antara Bandung dan Jakarta. Mengingatkan berbagai hal, termasuk modernisasi (perjalanan) yang memang makin tidak romantis.

Memang, semenjak tol Cipularang beroperasi, praktis perjalanan antar dua kota tadi hanyalah seputar masalah waktu dan kecepatan. Tidak banyak kesan perjalanan yang bisa diperoleh melewati jalur ini.

Sekedar dibandingkan dengan perjalanan kereta api yang ritme perjalanannya terasa benar. Awal perjalanan yang lambat, menggiring pengalaman ruang ke pinggir kota dengan sekuel yang pas, seperti gambar puzzle yang dilepas satu persatu hingga habis. Potongan-potongan kota yang kita kenali satu demi satu berlari menjauhi sampai akhirnya habis sama sekali di jalur luar kota. Sebaliknya ketika memasuki kota tujuan, satu demi satu puzzle kognisi tadi tersusun kembali sampai akhirnya lengkap menumpuk dan melambat lalu berhenti.

Nikmat sekali menyaksikan bagaimana Monas atau gedung-gedung di Jakarta tampak bergerak melambat di jendela kereta api lalu berhenti sama sekali. Undescribeable.

Perjalanan dengan mobil di jalur lama jauh lebih colourfull, tentu saja jalur Puncak. Waktu perjalanan memang lebih lama dibanding melalui tol Cipularang tapi potongan puzzle-puzzlenya membuat lamanya waktu tak pernah terasa.

Layang-layang berekor yang warna-warni itu, yang digantung berjajar dijajakan di tepi jalan mendekati Jakarta. Bertahun-tahun selalu melewati mereka dan selalu saja menginginkannya, namun belum pernah sekalipun berhenti membeli.

Ow! bagaimana mungkin terlupa perjalanan lewat Sukabumi dengan perempuan itu... U2:With or Without You.

Untuk satu ini, saya setuju membenci modernisasi dan perubahan.